Eksistensi di Atas Lokalitas
Buku ini memuat puisipuisi yang lahir dari pengalaman mendalam penyairnya sebagai wartawan.
DALAM Kritik Sastra Mencari Kambing Hitam yang dieditori Maman S. Mahayana, Asrul Sani menulis bahwa sesungguhnya menulis tentang kesusastraan adalah menulis tentang duka, kebahagiaan, serta pahit dan manis yang menjadi pengalaman. Pengalaman tersebut, lanjutnya dalam Pembahasan Orang-Orang yang Kenes, kemudian menjadi kesadaran dalam bentuk kata-kata.
Begitu juga dengan puisi, pada dasarnya adalah kristalisasi pengalaman penyair dari apa yang ”dilihat, dengar, dan rasakan”. Selebihnya adalah perasan pengetahuan dan pemikiran yang menetes sebagai sari emosi bahasa.
Bicara puisi sebagai pengalaman penyair yang diolah dengan penuh kesadaran, puisi menemukan ladang paling subur pada diri wartawan yang sekaligus penyair. Pengalaman yang dimiliki seorang wartawan bukanlah pengalaman yang ”sambil lalu”.
Melainkan, pengalaman yang mendalam karena lahir dari sebuah pengamatan yang melibatkan seluruh pancaindra. Di tangannya, pengalaman pengamatannya tidak hanya menjadi berita, tapi juga bisa menjadi puisi.
Maka, wajar jika banyak penyair di Indonesia yang berlatar profesi sebagai wartawan atau –setidaknya– pernah bersentuhan dengan dunia kewartawanan. Sebagai contoh, Rida K. Liamsi, Adri Darmadji Woko, Ayid Suyidno P.S., Dheni Kurnia, Herman Syahara, Isbedy Stiawan Z.S., Setiyo Bardono, Kunni Masrohanti, dan Samsudin Adlawi.
Fakta tersebut semakin kukuh dengan terbitnya buku Pesona Ranah Bundo (kurator Syarifuddin Arifin) pada Februari 2018. Sebuah buku yang memuat puisi 55 wartawan Indonesia, termasuk sebagian besar nama di atas.
Demikian juga dengan Selingkar Pedang Jalan Pulang (SPJP) ini, yang merupakan buku puisi karya seorang wartawan: Samsudin Adlawi.
Eksistensi Lokalitas Buku ini memuat puisi-puisi yang lahir dari pengalaman mendalam penyairnya sebagai wartawan. Rida K. Liamsi menulis dalam endorsement
nya bahwa puisi-puisi Samsudin Adlawi bicara hampir semua masalah kehidupan dan catatan-catatan pengembaraannya yang luka, getir, satir, atau senda.
Secara umum, sebagian besar tema yang diusung Samsudin dalam buku ini mengabarkan seputar pertarungan eksistensinya dengan metafora ”pedang” dan keindahan lokalitas sebagai metafora ”jalan pulang”.
Eksistensialisme dan lokalitas sering kita jumpai dalam karya sastra Indonesia, baik prosa maupun puisi. Misalnya, pada karya Chairil Anwar, Kuntowijoyo, Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Iwan Simatupang, dan lainnya. Lantas, bagaimana dengan eksistensialisme dan lokalitas dalam buku ini?
Samsudin berupaya mengawinkan keduanya secara harmonis. Dia membangun eksistensinya di atas lokalitas itu sendiri.
Mari kita baca, misalnya, pada puisi (hal 4) ”Pena Panah”: 1/ Maaf,/ anak panahmu/ kupatah-patah/ kurautraut/ jadi pena// 2/Zaman sudah/ berubah, eyang// 3/ Hari ini// mata pena// bisa menembus/ dada/ tanpa ada/ darah/ tumpah/ setetes/ saja//
(The Sunrise of Java/2017).
Dalam puisi yang bicara perihal ”panah yang menjadi pena” tersebut, secara jelas Samsudin mencoba melakukan revolusi diri dari lokalitas (panah) menjadi eksistensi (pena) kepenyairannya. Usaha tersebut semakin jelas menguat pada puisi (hal 33) selanjutnya ”Perahu Kita”: Apa pun/ Perahu kita/ Dayung jangan/ Sampai/ Patah// Ombak datang/ Jangan dilawan/ Ia kawan yang/ Rindu pelukan// Badai menghampiri/ Jangan ciut nyali/ Ia selimut yang/ Sempurnakan Petualangan// Ingatlah ingat/ Nenek moyang/ Kita berpetuah/ Samudera tempat/ Tidur kita// (The Sunrise of Java/2016–2017).
Dia seolah berjuang ”berdamai dengan badai” lokalitasnya sendiri demi sebuah eksistensi. Bila ada anggapan eksistensi bertentangan dengan lokalitas, Samsudin justru menemukan eksistensinya di atas lokalitas itu sendiri dengan berkata ”samudera tempat tidur kita”.
Lokalitas yang –seolah– menyimpan kengerian, ketakutan, dan kecemasan tidak perlu dilawan. Sebab, itu semua adalah penguat dan penyempurna makna eksistensi kemanusiaannya. Puisi-puisi Samsudin di atas seakan membenarkan apa yang diyakini Viktor Franki bahwa ”Dengan makna, penderitaan bisa ditempuh dengan penuh kehormatan”.
Seorang penyair harus mampu mengubah pengalaman –fisik atau metafisiknya– menjadi pengalaman puitik. Di sinilah diksi yang tepat, metafora yang segar, serta emosi yang sublim harus ditemukan oleh penyair. Kita tahu, berita dan puisi punya cara ungkap yang berbeda. Seorang wartawan yang penyair harus sadar sepenuhnya: kapan dia sedang menulis puisi, kapan dia sedang menulis berita. (*)