Dai Bakal Ikuti Sertifikasi
MUI-Kemenag Sepakat Perbaiki Daftar 200 Mubalig
JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) berusaha menyudahi polemik seputar rilis 200 mubalig yang dianggap moderat dan antiradikal. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin kemarin (22/5) menemui pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di kantornya di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat.
Lukman beserta jajarannya disambut Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin yang didampingi Wakil Ketua Umum Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Ketua Umum Yunahar Ilyas, serta Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat KH Cholil Nafis
Pertemuan berlangsung tertutup sehingga tidak diketahui secara detail materi pembicaraan.
Zainut mengungkapkan, MUI dan Kemenag dalam pertemuan menyepakati meningkatkan kompetensi mubalig atau dai. Salah satunya dengan melaksanakan program sertifikasi. ”Kami sepakat untuk meningkatkan kompetensi mubalig, baik aspek materi maupun metodologi, melalui program dai bersertifikat,” jelasnya seusai pertemuan.
Menurut Zainut, program ser- tifikasi mubalig diharapkan menjadi solusi terkait polemik seputar rilis 200 mubalig versi Kemenag. MUI dan Kemenag dalam beberapa hari ini akan mengundang perwakilan ormasormas Islam untuk membicarakan detail program peningkatan kualitas mubalig tersebut.
Lebih lanjut Zainut mengatakan, dalam pertemuan juga disepakati memperbaiki daftar 200 mubalig yang telah dipublikasikan Kemenag. Dengan adanya kesepakatan itu, lanjut dia, diharapkan semua pihak tidak lagi memperpanjang polemik terkait permasalahan tersebut. Apalagi, kegaduhan yang berkembang belakangan dapat menimbulkan kesalahpahaman dan fitnah.
Di tempat yang sama, Lukman menyatakan, dalam pertemuan dengan perwakilan ormasormas Islam nanti ada diskusi untuk melengkapi, menyempurnakan, dan menambah daftar yang telah dirilis Kemenag. ”MUI merasa juga ingin ikut memperbaiki bagaimana agar mekanisme akses masyarakat untuk bisa mendapatkan para penceramah yang baik ini dilakukan juga dengan cara (baik),” kata dia.
Lukman mengungkapkan, daftar nama itu sebenarnya bermula dari keingintahuan masyarakat soal tokoh-tokoh atau mubalig yang hendak diundang ceramah. Ada nama yang ditanyakan kepada Kemenag melalui ormas atau takmir masjid. ”Lalu kami himpun dan kami sampaikan dalam bentuk rilis itu,” dalihnya. Itulah, imbuh Lukman, yang membuat daftar tersebut hanya sejumlah 200 orang.
Jumlah 200 mubalig tersebut, tegas Lukman, tidak merepresentasikan ratusan ribu penceramah di Indonesia. Masih banyak sekali nama ulama besar yang belum masuk daftar itu. ”Sangat bisa dimaklumi karena rilis itu bukanlah seleksi, bukanlah untuk memilah-milah bahwa ini penceramah yang ini dan di luar itu. Bukan untuk menyeleksi, apalagi bukan standardisasi, apalagi akreditasi, apalagi sertifikasi,” ucap menteri yang juga politikus PPP tersebut.
Dari kantor MUI, Lukman beserta jajarannya menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di istananya. Mereka membicarakan kriteria mubalig. JK yang juga ketua umum Dewan Masjid Indonesia menegaskan bahwa setidaknya dibutuhkan 300 ribu mubalig. Jumlah itu sesuai dengan jumlah perkiraan masjid di Indonesia. Nah, 200 mubalig yang dirilis tersebut tentu jauh dari kebutuhan. ”Kami sudah bicarakan tadi agar dibuat pola yang lebih baik, lebih efisien, lebih cepat,” ujarnya kemarin.
JK menuturkan, perlu dibuat semacam kode etik atau kriteria untuk para mubalig. Dia mencontohkan, banyak profesi yang punya kode etik, termasuk jurnalis. Sehingga daftar kelak tidak sampai membuat mubalig lain merasa dikesampingkan. ”Tidak hanya untuk memberikan seumpamanya kriteria dan kode etik. Sama dengan Anda, wartawan kan punya organisasi dan kode etik, perlu terdaftar,” ujar dia.
Sementara itu, kalangan DPR justru mengkritik pertemuan Kemenag dengan MUI tersebut. Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay meminta Kemenag menghentikan kegiatan rilis-merilis daftar mubalig. Menurut dia, rilis mubalig hanya akan membikin kegaduhan di masyarakat. ”Kemenag dinilai memecah belah mubalig yang terdaftar dengan yang tidak terdaftar,” cetus anggota DPR dari Fraksi PAN itu.
Jika hal tersebut diteruskan, akan ada kesan bahwa Kemenag tutup telinga terhadap kritik dari masyarakat. Itu tentu berdampak pada pemerintahan presiden secara kolektif. Selain itu, menurut Saleh, program sertifikasi mubalig tersebut tidak dibutuhkan. Dalam pelaksanaannya, pasti akan ditemukan kesulitan teknis. Sertifikasi ribuan, bahkan puluhan ribu, penceramah agama tentu saja tidak mudah.
Selain itu, Saleh khawatir banyak juga yang tidak mau mengikuti sertifikasi karena berbagai alasan. ”Akibatnya, program dan wacana sertifikasi itu pun bisa jadi terkendala dan berhenti di tengah jalan,” katanya.