Plus-Minus 20 Tahun Reformasi
MASYARAKAT kita memperingati 20 tahun reformasi dengan beragam cara dan beragam mood. Umumnya, tonggak sejarah itu diperingati dengan kegembiraan. Ada yang mengatakan, rakyat Indonesia patut bersyukur atas alam demokrasi sebagai salah satu ”buah” reformasi. Negara kita juga mengalami kemajuan amat signifikan, terutama dari aspek ekonomi. Nilai rupiah, misalnya, dari Rp 18.000 (per USD) menguat jadi Rp 14.100. Produk domestik bruto (PDB) kita naik sekian puluh lipat, angka pengangguran dari 30 persen anjlok jadi 13 persen, dan lain-lain.
Anwar Ibrahim, tokoh oposisi Malaysia, menyempatkan diri datang ke Indonesia untuk ikut bergembira dengan bangsa kita merayakan 20 tahun reformasi. Dia menegaskan bahwa reformasi Indonesia sangat berhasil. Anwar mengaku belajar banyak dari negara kita. Kunjungan Anwar Ibrahim disambut penuh keakraban dan kegembiraan oleh B.J. Habibie, presiden ke-3 RI.
Di pihak lain, ada juga yang skeptis melihat perkembangan negara kita setelah 20 tahun bereksperimen dengan reformasi yang berujung tombak demokrasi, HAM, dan ekonomi neolib. Suara dan mood yang skeptis, terutama, menyinggung utang luar negeri yang ”aduhai”: Rp 4.100 triliun lebih! Soal kesenjangan sosial ekonomi yang makin ”gila” dan kejahatan korupsi yang makin ”syuuur”, salah satu negara paling korup di Asia.
Maka, Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) memperingati 20 tahun reformasi dengan melancarkan aksi demo di depan Istana Presiden. Ada beberapa atribut yang dibakar sebagai tanda kemarahan melihat situasi negara dan bangsa kita. SBY, presiden ke-6 RI, memperingatkan Presiden Jokowi untuk segera menyelesaikan sejumlah agenda reformasi yang masih terbengkalai. Kalau tidak, kata SBY di Twitter-nya,
bisa terjadi gerakan reformasi lagi. Suatu ancaman terhadap Jokowi? Habibie juga berpendapat bahwa ”peradaban kita jalan di tempat”. Artinya, selama 20 tahun ini kita sebenarnya tidak maju –meski juga tidak mundur.
Saya kurang gembira melihat situasi bangsa dan negara setelah 20 tahun menjalankan reformasi. Memang potret kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan pers kita hebat sekali. Tapi, kebebasan itu cenderung kebablasan. Maraknya hoax dan konten media sosial yang ”gila-gilaan” adalah ”anak haram” yang lahir dari era reformasi. Sampai sekarang masih banyak rakyat kita, termasuk mahasiswa-mahasiswa saya, yang mengartikan ”demokrasi” sebagai kebebasan ngomong.
Penegakan hukum juga semakin memprihatinkan. Hukum kerap dipermainkan kekuasaan dan uang. Banyak sekali orang Indonesia, termasuk akademisi, yang lupa atau tidak tahu bahwa demokrasi tanpa law enforcement yang tegas, konsisten, dan berkeadilan sesungguhnya bukan demokrasi. Demokrasi, menurut para kampiunnya sejak ratusan tahun lalu, sesungguhnya ditopang tujuh atau delapan pilar.
Penegakan hukum yang bagus salah satu pilar amat penting. Di Indonesia, yang salah bisa bebas di luar; sebaliknya, yang benar masuk bui. Di Indonesia, aparat penegak hukum tidak jarang takut mengusut perkara pidana yang jelas-jelas ditopang bukti awal kuat. Di Indonesia, aparat kadang tidak punya keberanian menuntaskan satu perkara. Perkara dibiarkan mengambang terus dengan jawaban klise ”masih terus kami selidiki” jika ditanya wartawan.
Perpolitikan kita juga kacau-balau sebagai salah satu ekses dari demokrasi yang bernuansa democrazy. Pilkada dan pemilu kadang hanya bagus di kemasan, tapi isinya ..... ?!! Penuh pat-gulipat, permainan kotor, dan money politics. Tak heran jika pemimpin yang terpilih tidak jarang ”crook” alias bajingan, tukang keruk uang rakyat. Kok bisa seseorang yang moralnya jelek terpilih dalam pemilu? Di mana media massa yang menjalankan tugas watchdog? Orangorang media, rupanya, kadang juga sudah disuap politisi.
Tapi, ”buah” yang paling pahit dari reformasi adalah ancaman terorisme. Di era Orde Baru, para teroris hengkang ke luar negeri menghindari kejaran aparat keamanan kita. Serangan teror jarang terjadi, juga tidak dalam skala besar ala bom Bali I dan II. Presiden Soeharto tidak pernah kompromistis terhadap gerakan terorisme. Aman negara kita! Namun, setelah kita memasuki era reformasi, orang-orang radikal, juga terduga teroris, diam-diam hijrah kembali ke tanah air, menyusun kekuatan untuk meneruskan perjuangan mengubur Pancasila dan menggantinya dengan ideologi lain.
Bukan hanya itu, puluhan, mungkin juga ratusan, anak muda kita tergiur dengan ideologi jihad, lalu berangkat ke beberapa negara Timur Tengah untuk membantu perjuangan ISIS atau menjalani latihan militer di sana. Setelah itu mereka kembali ke tanah air. Untuk apa? Buahnya, antara lain, serangan bom tiga gereja di Surabaya, juga Markas Polrestabes Surabaya dan Polda Riau, setelah pada Januari 2016 mereka berhasil mengebom Starbucks di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Lokasi serangan bom itu hanya 2 kilometer dari Istana Kepresidenan Jakarta.
Pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN) baru saja memperingatkan kita semua bahwa serangan bom yang lebih besar bukan tidak mungkin terjadi lagi. Mengapa? Karena aparat keamanan dan aparat hukum kita tidak tegas. Aparat intelijen juga sudah dipotong kaki dan tangannya dengan UU Intelijen yang baru. Di Malaysia, pemerintah langsung menangkap dan menjebloskan ke penjara warga negaranya yang kembali ke Malaysia setelah melakukan aktivitas misterius di Syria. Aparat kita tidak berani. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, Polri tidak punya payung hukum untuk bertindak tegas terhadap orang-orang yang diduga kuat menyebarluaskan radikalisme atau terduga teroris. Kenapa? Lho, mereka belum berbuat tindak kejahatan ....... !
Dua puluh tahun masih terlalu dini untuk menilai satu rezim. Jangan terlalu bangga, apalagi gembira, dengan capaian pemerintah selama 20 tahun terakhir. Hasil reformasi ada di segala sektor memang harus diakui. Namun, kerugian atau bahkan nestapanya juga luar biasa memprihatinkan.
Dari plus-minus 20 tahun reformasi, tentu kita sekali-kali tidak boleh kembali ke era otoritarian. Tidak boleh! Yang harus dilakukan semua pemangku kepentingan bangsa adalah berani melakukan koreksi besar-besaran. Pengamat politik