Mencari Added Value yang Menyejahterakan
Tanggapan terhadap Opini Suyoto Berjudul ’’Sinyal Mati Inovasi Daerah’’ (21/5)
RUBRIK Opini pada 21 Mei 2018 memuat tulisan Suyoto, bupati Bojonegoro 2008–2018, yang berjudul Sinyal Mati Inovasi Daerah. Inti tulisan itu adalah gagalnya upaya Pemkab Bojonegoro memperoleh persetujuan dari Pemprov Jatim atas usul raperda dana abadi yang dibiayai dana migas mereka.
Berbagai purbasangka dan atau pertanyaan dituliskan dalam opini ini. Di antaranya, apakah tidak boleh anak cucu mendapatkan hak atas migas di tanah orang tua mereka? Apakah Pemprov Jatim menginginkan seluruh dana hasil minyak di Bojonegoro dihabiskan saat ini juga? Haruskah ide inovasi disampaikan 25 tahun sebelumnya?
Siapa pun mafhum, pemerintah bersama birokrasinya berbeda dengan lembaga lain seperti perusahaan swasta atau organisasi nirlaba. Perbedaan terpenting, dana yang dimiliki pemerintah bukanlah milik pribadi, tetapi merupakan dana yang diambil dari rakyat melalui pajak, retribusi, maupun yang lain.
Karena itu, pertanggungjawabannya sangat detail dan harus akuntabel. Jika itu tidak dilakukan, sanksi mendekam di hotel prodeo sudah menanti.
’Aturanperundang-undangan’ menjadi pegangan wajib bagi para penye- lenggarapemerintahan/negara.Alasannya, BPK, KPK, kejaksaan, kepolisian, daninspektoratmendasarkanperaturan perundang-undangan sebagai buku pegangan pemeriksaan.
Pemerintah telah membuat panduan dan keleluasaan daerah untuk berinovasi sesuai dengan PP Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah. PP itu mengatur banyak hal mengenai inovasi yang perlu dan dapat dilakukan pemda. Misalnya, tujuan, sasaran, prinsip-prinsip, bentuk, dan kriteria inovasi. Dalam PP tersebut, misalnya, disebutkan pula tujuan inovasi. Yakni, terwujudnya peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sasarannya diarahkan untuk percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi ’’ibu’’ peraturan-peraturan yang mengikat daerah dan menjadi rujukan dari PP itu, juga menyebut tiga cara tersebut sebagai ’’kata kunci’’ mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pemprov mengambil keputusan untuk tidak menyetujui usul raperda dana abadi migas. Pertama, sisi aturan perundang-undangan pengelolaan daerah belum/tidak mendukung. Andaikata dana abadi yang dimaksud Kang Yoto digunakan untuk dana cadangan, juga salah arah. Sebab, dana cadangan hanya dimanfaatkan untuk mendanai kebutuhan pembangunan prasarana dan sarana daerah yang tidak bisa dibebankan dalam satu tahun anggaran.
Menganalogikan dana abadi pendidikan yang dikelola lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP) dengan usul dana abadi migas Bojonegoro juga tidak benar. Sebab, pengelolaannya berbeda. LPDP adalah badan layanan umum (BLU), sedangkan dana abadi usulan Kang Yoto dikelola Pemkab Bojonegoro.
Pemda bukanlah lembaga pengelola keuangan. Demikian pula, usul dalam raperda dengan memasukkan rencana dana abadi ke dalam bank umum dan SBI bukanlah langkah tepat karena penjaminan oleh LPSK maksimal hanya Rp 2 miliar.
Selain itu, pengelolaan dana abadi yang lama membuat kepala daerah tidak leluasa memanfaatkan keuangan daerah sesuai dengan strategi RPJMD. Keputusan Pemprov Jatim untuk menolak raperda tersebut juga telah dikonsultasikan dengan Kemendagri yang pemikirannya senada dengan Pemprov Jatim.
Kedua, substansi inovasi usulan Kang Yoto juga masih debatable, seperti halnya telur dan ayam. Bahwa anak cucu memiliki hak untuk memperoleh kekayaan alam, itu merupakan keharusan. Mereka harus disejahterakan oleh orang tua dan pendahulunya.
Strateginya bagaimana? Itulah yang sangat substansial. Menabung merupakan langkah bagus. Namun, akan lebih bagus apabila ada kegiatankegiatan lain yang memberikan added value lebih besar kepada anak cucu. Caranya, antara lain, membangun SDM secara bertahap melalui perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang terukur serta berkesinambungan untuk selanjutnya dimasukkan dalam APBD. Itu juga sesuai dengan salah satu Nawacita presiden, yakni peningkatan SDM bangsa ini.
Mengenai kekhawatiran habisnya sumber daya migas, yang efeknya nanti dirasakan langsung oleh masyarakat Bojonegoro, inovasi dan strategi kabupaten sebelahnya, Lamongan, yang sukses melakukan usaha ekonomi kreatif bisa ditiru. Langkahnya, melakukan build, operate, and transfer (BOT) atau kerja sama operasi (KSO) antara pemda dan pihak ketiga atau swasta yang saling menguntungkan di bidang pariwisata.
Lamongan membuat perda tentang dana cadangan selama dua tahun, 2001 dan 2002, masing-masing Rp 15 miliar. Setelah terpenuhi selama dua tahun atau sejumlah Rp 30 miliar sebagaimana rencana perda, dilakukan KSO dengan profit sharing. KSO itu memberikan keuntungan pada 2016 saja hingga Rp 13,75 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk multiplier effect bagi masyarakat.
Inovasi-inovasi semacam itu dipastikan memberikan manfaat yang jauh lebih besar kepada masyarakat saat ini dan ke depan jika dibandingkan dengan hanya memiliki tabungan yang semata-mata hanya memperoleh bunga bank.