Isi dengan Pengetahuan, Pemahaman, dan Pendalaman
EROS DJAROT
Sutradara Eros Djarot sukses menghadirkan film Tjoet Nja’ Dhien (1988) yang meraih sembilan Piala Citra Festival Film Indonesia dan diputar di Semaine de la Critique du Festival de Cannes, Prancis. Seniman, budayawan, dan aktivis berusia 67 tahun tersebut memaparkan pandangannya tentang film berlatar sejarah. Berikut perbincangannya dengan wartawan Jawa Pos NORA SAMPURNA. Benarkah sulit merealisasikan film berlatar sejarah bangsa?
Ya, nggak sulit. Tapi, ini kan refleksi dari kehidupan Indonesia pasca-Orde Baru. Sejak itu, sejarah menjadi tidak penting. Pembelokan sejarah menjadi hal biasa. Sejarah bahkan harus dilupakan. Kebiasaan itu berlanjut. Pembuatan film berlatar sejarah mengalami dampak seperti itu. Sehingga, ketika ditampilkan dalam film, yang penting enak ditonton, lantas konten dan otentisitas kesejarahannya tidak menjadi hal penting. Jadi, ya ini refleksi aja sebenarnya.
Ceritakan pengalaman menggarap
Saya dua tahun ke Aceh, mempelajari bahasanya, puisi-puisinya. Saya ke museum di sana, karena saya menghargai sejarah. Pada saat saya membuat film, ada korelasinya antara film yang saya buat dengan latar saya yang sangat menghargai sejarah. Nah, mungkin generasi selanjutnya tidak seperti itu. Bukan menyalahkan, wong itu produk zaman. Ya, memang dia dibesarkan dalam situasi bahwa sejarah dianggap tidak penting. Sebab, dalam membuat film berlatar sejarah, akan tergambarkan who am I?
Beberapa film berlatar sejarah yang belakangan muncul, banyak yang menilai terjebak pada romantisisme saja. Menurut Anda?
Romantisisme itu bagus kok. Jangan menabukan romantisisme. Yang tidak bagus itu romantisisme yang berangkat dari pelecehan intelektual, hanya mengambil sensasinya.
Respons terkait pro-kontra yang muncul ketika film berlatar sejarah diumumkan akan dibuat?
Masyarakat harus menyadari, end product
dari komunitas tertentu pasti menghasilkan watak dasar yang ada dalam komunitas itu. Seorang sosiolog mengatakan, film yang dibuat dalam sebuah masyarakat mencerminkan kualitas kebudayaan di mana film itu dibuat. Nah, begitu juga siapa yang membuat. Tinggal satu saran saya, daripada ribut-ribut, kalau memang nggak mau nonton, ya nggak usah ditonton.
Yang penasaran silakan nonton,
jadi kan nggak
pusing.