Jawa Pos

Dari Kutukan hingga Laknat Turun-temurun

-

SURABAYA – Surat pernyataan jual beli untuk pengurusan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) membikin gaduh. Dalam surat itu, ada poin pembeli harus bersedia dikutuk atau dilaknat beserta keturunann­ya apabila berbohong.

Gara-gara masalah tersebut, mantan Kepala Inspektora­t Surabaya Agoes Winajat membuat surat terbuka untuk wali kota. Menurut dia, pemkot tak seharusnya menyematka­n katakata kutukan dalam pengurusan apa pun. ’’Itu sudah merupakan intimidasi,’’ katanya.

Surat terbuka yang ditulis Agoes itu membuat Wakil Ketua DPRD Surabaya Aden Darmawan teringat dengan pengurusan BPHTB-nya pekan lalu.

Ada tiga lembar surat. Namun, dia hanya membaca lembaran pertama. Setelah membuka lembar berikutnya, Aden terperanja­t. Surat pernyataan itu merupaka versi terkini. ’’Tapi isinya lebih parah

J

Ada tulisan saya beserta keturunan bakal dilaknat Allah jika berbohong. Kok sampai bawa-bawa nama Tuhan dan keturunank­u,’’ ujar politikus Gerindra tersebut.

Aden merasa hal itu sangat berlebihan. Dia menyebutka­n, sumpah jabatan presiden, gubernur, wali kota, hingga anggota dewan tidak pernah sampai dikutuk atau dilaknat apabila tidak jujur. Padahal, tanggung jawab jabatanjab­atan tersebut jauh lebih berat ketimbang kejujuran tentang nilai jual beli. Sumpah jabatan hanya dilakukan dengan menggunaka­n kitab suci.

Masalahnya, Aden telanjur menandatan­gani surat pernyataan itu. Dia tidak membaca berkas tersebut secara detail. Setelah paripurna kemarin (4/6), Aden mendatangi kantor badan pengelolaa­n keuangan dan pajak daerah (BPKPD) di belakang balai kota. Dia meminta surat itu dicabut.

Aden juga sudah membicarak­an hal tersebut dengan Kepala BPKPD Surabaya Yusron Sumartono. Keinginan Aden dikabulkan. Surat pun dikembalik­an. Dia dijanjikan bahwa surat-surat serupa juga ditarik. ’’Kata Pak Yus, surat itu yang bikin staf-stafnya tanpa ada instruksi,’’ tuturnya.

Selain kata-kata tersebut, Aden mempermasa­lahkan besaran nilai perolehan objek pajak (NPOP) yang dibebankan kepada dirinya. Transaksi yang dia lakukan hanya Rp 800 juta untuk rumah di daerah Rungkut. Namun, saat notaris memasukkan angka itu, sistem menolaknya.

Angka tersebut dianggap terlalu rendah dari harga pasaran. Notaris memasukkan angka yang lebih besar, yakni dari Rp 850 juta, Rp 900 juta, hingga Rp 950 juta. Semuanya ditolak. Setelah dimasukkan angka Rp 1 miliar, baru data dapat diunggah secara online.

Namun, Aden kembali heran karena NPOP dihitung Rp 1,2 miliar. BPHTB yang harus dia bayarkan pun lebih mahal. Menurut dia, sistem tersebut sangat merugikan pembeli. Sebab, pemilik tanah meminta harga yang lebih tinggi setelah tahu pemkot menetapkan harga lebih tinggi. ’’Akhirnya yang jual punya pikiran jelek. Dikira saya ini mau nipu,’’ ungkapnya.

Penjual pun meminta biaya tambahan Rp 50 juta. Namun, Aden menolaknya karena bangunan yang dia beli rusak parah. Dia merasa sistem yang ada saat ini dapat merusak sistem jual beli. Menurut Aden, jika hal tersebut dibiarkan, iklim usaha di Surabaya bisa terdampak.

Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana sudah mengetahui hal itu. Dia mengungkap­kan, hal tersebut tidak dibenarkan dan bukan instruksi pemkot. Dia menyatakan, pihak yang bertanggun­g jawab atas penerbitan surat itu harus bertanggun­g jawab. ’’Nanti kami cek ke dinas pendapatan (sebutan lama BPKPD),’’ ujar Whisnu.

 ?? SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS ?? TELANJUR TANDA TANGAN: Wakil Ketua DPRD Aden Darmawan menunjukka­n surat pernyataan jual beli miliknya yang digunakan untuk penerbitan BPHTB.
SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS TELANJUR TANDA TANGAN: Wakil Ketua DPRD Aden Darmawan menunjukka­n surat pernyataan jual beli miliknya yang digunakan untuk penerbitan BPHTB.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia