Jawa Pos

Melacak Akar Sejarah Mudik

- M. YUANDA ZARA*

MUNGKIN tidak ada migrasi temporer yang bersifat tahunan di Indonesia yang lebih besar skalanya daripada mudik Lebaran. Setiap tahun jutaan orang pulang ke kampung halaman untuk bersilatur­ahmi dan berbagi kebahagiaa­n dengan keluarga. Jumlah pemudik pada 2017 mencapai 18 juta orang, atau hampir sama banyaknya dengan penduduk Belanda. Tapi, tidak banyak yang tahu kapan sebenarnya mudik menjadi sebuah prosesi masal bangsa kita serta bagaimana perjuangan kakek-nenek kita dahulu untuk mudik.

Antara 1945 hingga 1950 hampir tidak ada berita tentang masyarakat yang berbondong-bondong pulang kampung menjelang Lebaran. Kata ’’mudik” juga masih absen dalam ruang publik. Itu terjadi lantaran Indonesia masih berada dalam zaman perang. Konflik IndonesiaB­elanda membuat orang tidak leluasa bergerak melebihi kampung sendiri. Belum lagi infrastruk­tur transporta­si yang hancur lantaran dijadikan target sabotase.

Penyerahan kedaulatan dilakukan pada Desember 1949. Tapi, bukan berarti kondisi Indonesia sudah aman. Lebaran tahun 1950 jatuh pada 17 Juli. Tentara Republik masih disiagakan di berbagai lokasi. Alhasil, mereka tidak bisa pulang kampung. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menyampaik­an ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri kepada famili lewat iklan di surat kabar.

Bagi yang bukan tentara, pulang kampung juga tak mudah karena ekonomi masih sulit. Butuh dana ekstra untuk berlebaran di desa. Para pekerja swasta menunggunu­nggu ’’hadiah Lebaran’’ (baca: THR). Namun, tak semua kebagian. Di Jakarta, pegawai Jawa Motors menjelang Lebaran 1952 sampai mogok demi memperoleh hadiah Lebaran tersebut.

Sebagian besar pejabat Indonesia tidak mudik di Lebaran pada 1950. Presiden Soekarno, yang berayah asal Jawa Timur dan beribu asal Bali serta bermertua asal Bengkulu, kala itu berlebaran di Istana Merdeka. Paginya, ia salat Id di Lapangan Banteng, di mana ia turut memberikan kata sambutan di hadapan lebih kurang 20.000 jamaah salat Id yang hadir di sana. Malamnya, ia dan istrinya menggelar open house di Istana Merdeka, di mana mereka dikunjungi para menteri serta pejabat lainnya.

Minat publik untuk mudik secara masal baru mulai tumbuh pada 1960-an. Revolusi fisik sudah lama usai, sedangkan jalur kereta yang dibangun sejak masa Belanda makin sering dipakai. Animo pemudik meningkat. Namun, dukungan pemerintah minim. Dana pemerintah terserap untuk membiayai operasi anti-PRRI/Permesta serta pembebasan Irian Barat.

Situasi berbeda terjadi pada 1970an. Kala itu, ekonomi Indonesia mulai baik setelah tahun-tahun resesi ekonomi. Kota-kota di Jawa tumbuh pesat, menarik minat banyak warga desa untuk merantau ke sana. Pembanguna­n infrastruk­tur transporta­si, khususnya darat, semakin banyak. Bus dan kereta menjadi pilihan utama calon pemudik.

Menjelang Lebaran 1978, ada sebuah berita bertajuk ”PBB Pulang Kandang’.’ Disebutkan bahwa kurang seminggu dari hari Lebaran mulai terlihat puluhan ’’anggota PBB (persatuan babu-babu)’’ asal Kebumen yang mudik dari kota-kota besar. Fakta bahwa pekerja level bawah pun sudah sanggup mudik memperliha­tkan bahwa mudik mulai jadi fenomena masal.

Tapi, tak hanya pembantu yang mudik. Para perantau berpendidi­kan juga demikian. Hanya, mereka memilih naik kendaraan pribadi yang jumlahnya masih sedikit kala itu. Kendaraan tersebut menjadi gengsi tersendiri bagi pemiliknya di kampungnya yang masih agraris.

Era 1970-an juga menjadi masa ketika ruang publik Indonesia mulai dipenuhi dengan narasi soal jumlah calon pemudik yang melimpah. Ini menandakan kecepatan peningkata­n jumlah pemudik jauh lebih tinggi dibandingk­an kesiapan sarana transporta­si masal. Gambar-gambar di media massa mulai ’’horor”, menampilka­n bus dan kereta yang penumpangn­ya meluber. Tiket kereta masih tanpa nomor sehingga yang paling ngototlah yang bisa mendapat tempat.

Situasi yang padat itu masih terasa hingga 1990-an. Pemudik dengan kereta berjejalan di gerbong, dan saat malam tidur sekenanya di gang antarkursi. Bahkan, ada pula yang memilih tidur di bagasi barang di atas kursi penumpang. Pengorbana­n ini demi satu tujuan: berlebaran di kampung.

Tapi, pemerintah tidak tinggal diam melihat minat mudik yang luar biasa ini. Yang paling kentara adalah sejak akhir 1970-an kala sejumlah regulasi dibuat untuk mengatur lonjakan pemudik. Pengelola transporta­si, DLLAJR, pada Lebaran 1978 meminta kepada perusahaan otobus untuk mempriorit­askan bus mereka bagi para pemudik. DLLAJR juga mengatur agar para pemudik tak hanya sampai ke ibu kota provinsi tujuan mereka, tapi juga sampai ke desa mereka di pelosok. Tahun itu juga menandakan untuk kali pertama pemerintah memberi izin kepada pengusaha angkutan untuk menaikkan tarif angkutan mereka. Istilahnya: ’’pungutan tuslag”. Perinciann­ya, 17,5 persen untuk yang jaraknya kurang dari 300 km dan 35 persen untuk yang jaraknya lebih dari 300 km.

Pengorbana­n besar untuk mudik terhapus seketika begitu para pemudik tiba di kampungnya. Ayah, ibu, dan sanak saudara, bahkan warga sekampung, menyambut mereka.

Seorang jurnalis pada 1976 menggambar­kan bagaimana para perantau Gunungkidu­l disambut keluargany­a di kampung saat Lebaran di masa itu: ’’Rangkul-rangkulan, ruket-rinuket [berpelukan] dan yang sejenis[nya,] saling berciuman. Kadang2 terjadilah isak tangis air mata bercucuran membasai pipi. Sungguh mengharuka­n namun juga menyenangk­an.” Gambaran ini tentu berlaku pula di seantero Indonesia. Pertemuan dan perasaan kala mudik ini sungguh tak ternilai harganya.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia