Jawa Pos

Harga Pangan Stabil, Inflasi Juni Terkendali

-

JAKARTA – Harga pangan pada Ramadan dan Lebaran tahun ini lebih stabil ketimbang tahun lalu. Selain itu, tidak terjadi kalangkaan bahan pangan karena stok aman. Menko Perekonomi­an Darmin Nasution mengatakan, sebelum Lebaran memang sempat terjadi kenaikan harga pada beberapa komoditas. Antara lain, cabai, bawang merah, bawang putih, telur, beras, dan daging.

Namun, setelah kenaikan itu, pemerintah segera menggelar pasar murah sehingga harga bisa ditekan lagi. Khusus beras, pemerintah telah melakukan antisipasi dengan menjaga ketersedia­annya di pasar sejak sebelum Ramadan

”Telur tidak jauh beda naiknya, sama dengan cabai dan bawang. Jadi, tahun ini, saat masyarakat Lebaran, harga tidak mengganggu lagi,” ujar Darmin saat open house di rumah dinasnya kemarin (16/6).

Darmin menambahka­n, pemerintah masih terus mengendali­kan harga beras, terutama beras medium agar bisa mencapai harga Rp 9.000 per kilogram (kg). ”Kami ingin harga beras medium sesuai HET (harga eceran tertinggi, Red) Rp 9.000. Mungkin sekarang Rp 10.000. Tapi, Januari lalu pernah Rp 12.000,” sambung dia.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menambahka­n, kondisi ekonomi dalam negeri sedang berada pada posisi baik. Salah satu indikatorn­ya adalah inflasi yang terkendali. ”Inflasi kita sangat rendah. Permasalah­an yang kita hadapi saat ini dari eksternal. Indikator dari dalam negeri hampir semuanya bagus,” sahutnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menampilka­n, inflasi pada Mei 2018 sebesar 0,21 persen. Jika dibandingk­an dengan Mei 2017 yang 0,39 persen, tentu inflasi kali ini lebih rendah. Saat itu Indonesia juga menyambut Lebaran yang jatuh pada Juni 2017. Jika rilis inflasi pada Juni ini juga terkendali, Perry berharap inflasi akhir tahun juga membaik.

Sebab, perayaan Ramadan dan Lebaran pada tengah tahun bisa menjadi indikator untuk memprediks­i kondisi ekonomi akhir tahun. Namun, Perry mengingatk­an bahwa inflasi yang rendah tak lantas mencermink­an daya beli yang memburuk. Menurut dia, hal itu didorong pasokan yang cukup. ”Saya tekankan, ini bukan karena daya beli melemah,” tuturnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengungkap­kan, memang saat ini tidak ada kenaikan drastis untuk harga pangan. Namun, pengusaha bisa saja menaikkan harga jual barang jika rupiah kembali terguncang. Hariyadi menyaranka­n pemerintah memperhati­kan risiko kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS yang terjadi beberapa hari lalu. Sebab, jika kemudian BI merespons dengan menaikkan lagi suku bunga acuan, suku bunga kredit yang ditanggung pengusaha akan naik. ”Nah, itu nanti yang akan membuat pengusaha pikir-pikir apakah perlu menaikkan harga jual,” tandasnya.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menilai, dengan suku bunga yang dinaikkan oleh The Fed, tak lantas perbankan langsung menaikkan suku bunga kredit. Sebab, repricing suku bunga kredit perbankan mesti dilakukan dengan perhitunga­n matang.

”Itu tidak instan. Repricing kredit itu kan ada waktunya. Sehingga semua industri punya waktu menyiapkan diri supaya dampaknya bisa smooth. Otomatis, ada term of condition-nya,” beber Wimboh. Bila BI terpaksa menaikkan suku bunga, tak serta-merta berdampak secara langsung pada bunga kredit. Selama likuiditas terjaga, tak ada ruang bagi perbankan untuk menaikkan bunga kredit.

Wimboh yakin bahwa kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed bakal direspons secara cermat oleh BI dalam rapat dewan gubernur 27–28 Juni 2018. ”BI punya hitungan cermat kapan dan berapa harus dinaikkan,” tambah Wimboh. OJK juga menegaskan bahwa berbagai potensi harus diantisipa­si sejak dini oleh dunia usaha, khususnya sektor riil. ”Sektor riil harus bisa juga antisipasi dan buat dirinya imun terhadap dinamika yang ada,” terang dia.

Mei lalu BI menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin menjadi 4,75 persen. Kebijakan itu dilakukan sebelum bank sentral AS pada Rabu (13/6) menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 1,75–2 persen.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia