Galang Dana Mandiri, Ajak Masyarakat Lebih Peduli
Masih banyak stigma yang salah tentang orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Syair Untuk Sahabat Foundation (SUSF) pun berusaha mendorong masyarakat agar lebih memahami dan peduli.
SUATU sore menjelang waktu berbuka puasa di ruang tengah salah satu rumah di Lebak Indah, Jakarta Selatan, anak-anak duduk anteng saat menonton film Inside Out. Sesekali terdengar tawa kecil saat mereka bercanda dengan teman di sebelah. Di barisan belakang, ada beberapa orang dewasa yang ikut menonton. Mereka adalah nenek, bibi, atau keluarga yang mengantar.
Dunia anak-anak adalah dunia yang penuh keceriaan dan harapan. Begitu pula anak-anak tersebut. Meski, mereka hidup dengan HIV. Syair Untuk Sahabat Foundation hadir untuk mereka.
Bermula pada 2008. Ketika itu Yudie Oktav, seorang jurnalis olahraga, membuat buku tentang pertemanannya dengan para ODHA. ”Saya besar di era 1990–2000-an. Waktu itu narkotika jenis putau sedang merajalela. Persebaran HIV dan AIDS juga sangat tinggi pada masa itu,” paparnya pada Minggu (3/6)
Banyak laki-laki yang terkena HIV, lalu menularkan virus tersebut kepada istrinya. Kondisi itu baru diketahui 5 atau 10 tahun kemudian. Tak sedikit perempuan yang terjangkit HIV dari suaminya kemudian melahirkan anak yang juga berisiko terpapar HIV. Yudie miris dan sedih dengan fakta itu. ”Yang bisa saya lakukan sesuai kapasitas saya, menulis buku,” tutur pria berkacamata tersebut.
Tujuannya, masyarakat benar-benar memahami kondisi HIV dan AIDS, tidak lagi menyematkan stigma dan memandang sebelah mata. Setelah perilisan buku berjudul Syair untuk Sahabat pada 18 Desember 2008, dukungan mengalir deras dari berbagai kalangan. Gitaris God Bless Ian Antono mengajak Yudie membuat lagu tentang kepedulian terhadap AIDS. Lagu tersebut kemudian diluncurkan pada Mei 2009, bersamaan dengan album God Bless.
Hingga kemudian lahirlah Syair Untuk Sahabat Foundation (SUSF) pada 2009 yang memiliki misi mengajak masyarakat peduli AIDS, memberdayakan ODHA agar bisa hidup mandiri. ”Masyarakat tahu HIV/ AIDS, tapi belum punya pengetahuan mendalam,” ucap Yudie. Stigma-stigma yang salah di antaranya mengira HIV bisa menyebar lewat udara dan bersalaman dengan ODHA bisa tertular.
Belum lagi diskriminasi dan penolakanpenolakan. Yudie mencontohkan, ada anak yang dikeluarkan dari sekolah setelah pihak sekolah mendengar bahwa anak tersebut terpapar HIV. Pindah ke sekolah berikutnya, kejadian yang sama terulang, dia kembali diminta keluar. ”Banyak kasus seperti itu. Padahal, penolakanlah yang sesungguhnya lebih ’membunuh’ ketimbang virusnya,” ungkapnya.
Hasil riset Pusat Data Informasi HIV/ AIDS dari Kementerian Kesehatan sejak 1987 hingga 2014 menunjukkan, yang paling banyak terpapar HIV adalah ibu rumah tangga. Seorang ibu hamil yang terpapar HIV belum tentu menularkan virus tersebut kepada janinnya dengan terapi pengobatan dan pemilihan proses persalinan.
SUSF memutuskan untuk concern kepada bayi dan anak-anak dengan harapan bisa menyelamatkan masa depan mereka, memberikan edukasi yang tepat, serta membantu menekan angka persebaran HIV dan AIDS. Saat ini ada 80-an anak yang tergabung dalam SUSF. Rentang usia mereka 0–16 tahun.
Mereka terbagi dalam tiga jenjang. Yaitu, 0–7 tahun, 8–11 tahun, dan 12–16 tahun. Untuk kelompok 0–7 tahun, lebih banyak permainan yang menstimulasi sisi kreatif. Kelompok 8–11 tahun diajari bahasa Inggris, matematika, dan lainnya. Untuk usia 12–16 tahun, pembelajaran sesuai minat. Misalnya, menulis, fotografi, dan main musik.
Di awal terbentuk, kegiatan SUSF berlangsung di Taman Suropati, Menteng, Jakarta, sekali dalam sebulan. Kemudian, hasil lelang jersey Bambang Pamungkas bisa digunakan untuk mengontrak rumah. Bepe –sapaan Bambang Pamungkas– merupakan salah seorang yang mendukung SUSF sejak awal. Namun, SUSF bukan rumah singgah. Anak-anak datang ketika ada kegiatan. Mereka tetap tinggal bersama keluarga, kakek-nenek atau om-tante jika orang tua sudah berpulang.
Selain kegiatan belajar, SUSF menyediakan kebutuhan nutrisi, susu, serta diaper untuk balita. Kemudian, setiap 6 bulan dilakukan tes CD4 untuk memeriksa jumlah sel CD4 dalam darah. Hasilnya menggambarkan fungsi sistem imun secara garis besar. ”Halhal yang tidak ter-cover oleh BPJS, termasuk kebutuhan yang menjaga di RS. Misalnya, nenek atau keluarganya, kami support juga,” ujar Saif Atsalis, ketua SUSF. Jumlah sukarelawan saat ini 12 orang.
Untuk pendanaan, mereka tak hanya mengandalkan para donatur. Didukung banyak kalangan kreatif, mulai atlet, musisi, aktor, hingga jurnalis, mereka sering mengadakan event yang keuntungannya dialokasikan untuk yayasan. Misalnya, konser musik, pertunjukan wayang orang, festival film pendek, dan drama musikal. Sekarang pihaknya sedang menyiapkan drama musikal bertajuk Malaikat Kecil. Rencananya, drama itu dipentaskan pada Januari 2019.
Proses audisi sudah dilangsungkan. Drama musikal tersebut disutradarai aktris Sha Ine Febriyanti dengan didukung Ridho Slank sebagai music director. ”Nantinya anak dengan HIV dan AIDS juga turut dilibatkan sebagai performer,” sahut Yudie. Tujuannya, menumbuhkan rasa percaya diri serta memberikan pembekalan agar anak-anak tersebut punya skill dan keterampilan sehingga mampu mandiri. Selain itu, lewat drama musikal tersebut, masyarakat diharapkan makin memahami dan tidak lagi memiliki stigma terhadap ODHA. Dengan pemahaman yang menyeluruh, diharapkan angka penularan HIV dan AIDS juga bisa ditekan.
Amel Shanie, mahasiswa London School of Public Relations yang menjadi salah satu volunteer pengajar, mengungkapkan pengalamannya. ”Awalnya, jujur, saya sempat takut karena belum paham tentang HIV,” ujarnya. Tapi, setelah bergabung dengan SUSF, Amel langsung tersentuh. ”Kali pertama datang dan ketemu adik-adik di sini, saya nangis,” kata Amel, yang mengajar bahasa Inggris.
Makin mengenal anak-anak tersebut, makin sering berinteraksi, membuat Amel sayang kepada mereka. Amel terinspirasi keceriaan dan semangat anak-anak tersebut. Meski mereka harus minum obat tepat waktu dua kali sehari tiap 12 jam. Misalnya, pagi pukul 07.00 dan malam pukul 19.00. Semangat mereka memang luar biasa. Salah seorang anak, sebut saja A, mengatakan senang belajar dan berkumpul dengan teman-teman di SUSF.
”Teman-temannya seru. Kalau pelajaran, aku suka matematika sama Alquran-hadis,” ujarnya. A, yang berusia 12 tahun, hobi bermain sepak bola dan bercita-cita menjadi polisi. Di sampingnya, ada B yang paling antusias saat kakak sukarelawan mengajarkan cara bernyanyi dan memainkan gitar. Anak laki-laki 14 tahun itu memang hobi bermain gitar dan menyanyi. Ingin jadi musisi? ”Emm... boleh juga,” kata B, yang mengidolakan Bondan Prakoso. Dia tergabung dengan SUSF sejak berusia 4 tahun, hampir 10 tahun lalu.