Jawa Pos

Hidup di Hutan Lebat

- Oleh A.S. LAKSANA

SELAMAT Idul Fitri, semoga Anda siap menjalani hari demi hari seusai Lebaran dengan pikiran yang sudah kembali suci.

Pikiran yang suci ini saya kenal pertama kali melalui kegiatan pramuka. Darma kesepuluh di dalam dasadarma adalah suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Kami mengikrark­annya beramai-ramai di lapangan sekolah tiap Sabtu tanpa mengetahui bahwa menjadi suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan adalah hal yang sulit dan mungkin urusan terberat yang harus kita kerjakan.

Yang paling ringan adalah menceburka­n diri di tengah keramaian dan berenang-renang di permukaan banjir gosip sembari ikut-ikutan melemparka­n komentar ke tengah kerumunan. Tetapi, menjadi bagian dari kerumunan, selain menyenangk­an, akan membuat kita sering kali harus berhadapan dengan orang-orang yang menjengkel­kan, di samping kita sendiri berpotensi menjadi orang yang menjengkel­kan bagi orang-orang lain.

Saya merasa pergaulan di dunia maya lebih rumit dibandingk­an dengan pergaulan di dunia nyata dengan orang-orang yang kita jumpai sehari-hari. Di dunia nyata, kita berpapasan dengan orang-orang di jalanan dan mereka tidak berjalan sambil berpidato atau mengomenta­ri segala hal. Di dunia maya, Anda berpapasan dengan beragam cara berpikir, berbagai tingkat pengetahua­n, dan berbagai pandangan dunia dari masing-masing karakter. Dan semuanya berbunyi.

Beberapa karakter di dunia maya membuat Anda senang, beberapa di antara mereka membuat Anda jengkel, dan di antara mereka ada satu dua yang Anda pikir betul-betul mengganggu, tetapi Anda selalu terdorong mengikuti terus apa yang mereka sampaikan. Mereka menyebalka­n dan karena itu Anda mengikuti mereka. Itu gejala yang sama dengan setiap hari Anda ingin tahu apa celoteh bekas pacar atau orang yang Anda pikir telah mengkhiana­ti Anda dan membuat Anda sakit hati.

Tetapi, menghadapi karakter-karakter semacam itu jauh lebih ringan untuk dipikul ketimbang menghadapi kesunyian. Karena itu, menyepi, kembali kepada diri sendiri, membutuhka­n daya tahan yang luar biasa: Anda tidak dikenali oleh orang lain. Kurang lebih Anda mengalami situasi seperti tokoh dongeng yang harus masuk ke dalam hutan lebat, tidak ditemani satu orang pun, merasakan kengerian pada malam hari, dan tidak tahu kepada siapa harus minta tolong.

Dan pada dasarnya, tiap-tiap orang memiliki hutan lebatnya masingmasi­ng. Kita adalah tokoh utama di dalam dongeng kehidupan kita sendiri dan pada suatu hari kita tersesat: kita harus bertarung dengan penyakit, kemalangan, serta depresi. Hal menarik yang diajarkan dongeng kepada kita tentang hutan lebat adalah tokoh utama tidak pernah mati di dalam hutan. Ia merasa tersesat, ia ketakutan, pada satu titik ia merasa putus asa. Situasi betul-betul gelap dan kita dikepung suara-suara misterius. Namun, di dalam tiap-tiap dongeng, hutan lebat itu sendiri sama sekali tidak membahayak­an: ia hanya satu tahap di dalam kehidupan, terasa menakutkan untuk sementara waktu, tetapi para tokoh utama akan selalu keluar lagi dari sana.

Ada masanya juga kita menjadi Upik Abu. Masing-masing di antara kita harus menjalani urusan di dapur kehidupan kita masing-masing: berlumuran abu dan jelaga, mengerjaka­n urusan-urusan yang seperti tidak ada habisnya, dihardik nasib yang kita pikir terlalu kejam. Tetapi, orang-orang yang tidak menyerah selalu memiliki bahu yang kuat untuk memikul beban dan mempunyai waktu lebih panjang untuk menyelesai­kan masalah.

Para ilmuwan menjalani kehidupan sulit di dapur mereka: Mereka bekerja khusyuk di laboratori­um, menjalanka­n percobaan-percobaan, menghadapi masalah-masalah yang harus dipecahkan, untuk menghasilk­an sesuatu yang bermakna bagi kehidupan orang banyak. Para pemikir menjalani kehidupan khusyuk di ruangannya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan berusaha menemukan jawaban dan mereka merumuskan pemikiran yang membantu kita untuk memahami kehidupan dalam cara yang lebih baik.

Orang-orang seperti itu selalu memerlukan momentum kembali kepada diri sendiri. Thomas Alva Edison menggunaka­n waktu tidurnya untuk ’’pulang’’, untuk memasrahka­n seluruh urusan kepada pikiran bawah sadar. Menjelang tidur, dia menuliskan masalah-masalah yang dia hadapi, menyerahka­n pemecahann­ya kepada bawah sadar, dan mencatat apa saja yang terlintas di dalam benak begitu dia bangun tidur. Dia memercayai bahwa pemikiran yang pertama kali terlintas di dalam benak adalah inspirasi yang berasal dari bawah sadar, yang bekerja pada saat dia tidur tanpa dicampuri kesadaran.

’’Jangan pernah berangkat tidur tanpa memberi pekerjaan kepada bawah sadar,’’ katanya. Dia sangat memercayai bawah sadarnya.

Idul Fitri adalah perayaan besar tentang kepulangan kita kepada diri sendiri. Ia adalah titik dari mana kita memulai perjalanan –dengan pikiran suci, sebab kita sudah memaafkan diri sendiri untuk segala hal buruk yang kita lakukan pada hari-hari dalam setahun yang baru berlalu. Penting untuk selalu meragukan diri sendiri, jangan-jangan kita telah berbuat aniaya terhadap diri sendiri, yang mengakibat­kan kita tidak kunjung mampu keluar dari hutan kehidupan kita sendiri.

Penting untuk memaafkan diri sendiri. Sebab, memaafkan memiliki aspek terapetik: ia membersihk­an pikiran, ia menjadi mekanisme untuk menyembuhk­an diri dari gejala-gejala fisik maupun psikologis.

Selamat Idul Fitri. Dengan tubuh segar dan pikiran bersih, kita keluar dari hutan. (*)

A.S. Laksana, cerpenis dan esais, tinggal di Jakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia