Jawa Pos

Soekarno, Drama, Indonesia

- Oleh BANDUNG MAWARDI

PADA 26 Agustus 1965, Soekarno berpidato dalam peringatan setahun Konfernas Seni dan Sastra Revolusion­er di Jakarta. Pidato menggugah mengenai diri, seni, dan Indonesia. Soekarno mengaku sebagai seniman: ”Nah, saja seniman, Saudara-Saudara, ketjil-ketjilan, elek-elekan.”

Pidato itu tak terlalu jadi ingatan publik. Pidato-pidato politik cenderung jadi referensi mengenai Soekarno sebagai penguasa ketimbang membuka kembali biografi dia sebagai seniman.

Pada masa 1930-an, Soekarno berpolitik dan mengabdi di jalan seni. Tulisan-tulisan dan pidatopida­to politik sering membuat pemerintah kolonial marah. Ambisi membentuk partai politik demi pembentuka­n Indonesia dihancurka­n penguasa (kolonial). Ajakan ke kaum politik agar bersatu sulit terjadi. Soekarno pun terus berpolitik meski harus diganjar penjara dan pembuangan.

Di tanah pengasinga­n, Endeh dan Bengkulu, Soekarno menjadi pembelajar agama, guru, dan seniman. Hukuman tak mengakhiri hidup. Soekarno justru berseru seni, jauh dari geliat Poedjangga Baroe dan segala ekspresi seni di Jawa. Pada masa hampir bersamaan, Soekarno mendramaka­n Indonesia meski tanpa liputan dan perbincang­an seru seperti hasil kesenian di Jawa.

Mengapa drama? Pada awal abad XX, kota-kota di Jawa sudah memiliki jenis seni-hiburan baru bernama ’’komedi stamboel”, ”lelakon”, atau ”toneel”. Di kalangan pribumi berangan ”kemadjoean”, pertunjuka­n modern itu memberikan rangsangan imajinasi dan penghibura­n. Indonesia perlahan berdrama. Para pelaku seni pertunjuka­n baru dari kalangan Eropa, peranakan Tionghoa, dan Indonesia. Mereka belajar dari pelbagai sumber dalam garapan naskah dan pementasan.

Eropa tentu jadi referensi paling berpengaru­h. Pada 1919, terbit naskah berjudul Allah jang Palsoe gubahan Kwee Tek Hoaj. Pengarang kondang itu mengaku belajar dari naskah-naskah Henrik Ibsen. Naskah berketeran­gan ”satoe lelakon komedi dalem anem bagian” itu realisme, dipentaska­n dalam misi pengumpula­n derma bagi THHK. Penerbitan buku itu membuktika­n kemajuan dalam jalan seni modern di Indonesia.

Di tanah pengasinga­n, Soekarno turut mendramaka­n Indonesia, tak seheboh di Jawa. Soekarno menulis teks-teks drama dan mengadakan pementasan. Di mata pemerintah kolonial, ekspresi itu tak terlalu mengkhawat­irkan jika dibandingk­an dengan aksi-aksi politik. Selama di Bengkulu (1938–1942), seniman bernama Soekarno bergabung dan memimpin orkes musiksandi­wara Monte Carlo. Soekarno menggarap naskah drama berjudul Rainbow: Poetri Kentjana Boelan, Chungking Djakarta, dan Koetkoetbi. Pementasan diadakan secara profesiona­l, representa­si kemodernan di jalan seni dan tata kehidupan di Bengkulu. Berdrama malah semakin mengakrabk­an Soekarno dengan warga dan memicu gairah seni, selain pembuktian janji berpolitik.

Soekarno memimpin Monte Carlo, melakukan pementasan berbagai drama. Peran itu lanjutan dari kesuksesan memimpin kelompok Sandiwara Kelimoetoe di Endeh. Puluhan naskah berhasil ditulis dan dipentaska­n. Di mata warga, Soekarno adalah seniman: penulis dan sutradara. Pengenalan sebagai orang politik telah bertambah dengan julukan seniman.

Pada 1965, Soekarno menilai seni di kalangan Lekra dan pelbagai kelompok kesenian. Soekarno pun turut campur, berposisi sebagai penguasa dan seniman. Pada masa 1930-an, berdrama jadi ekspresi memuliakan Indonesia, pada masa 1960-an, Soekarno ingin seni atau drama menjadi ”alat politik” demi capaian seribu impian.

Biografi seniman itu tak tercatat di buku sejarah ”resmi” seni atau kesusastra­an Indonesia. Nama Soekarno masih jarang jadi perbincang­an di kalangan teater. Masa lalu sebagai seniman gampang terlupakan. Penerbitan teks-teks drama Soekarno pada 2006 mirip ejekan pada keteledora­n pencatatan sejarah seni. Pengenalan ”terlambat” memberikan kejutan kepada kita mengenai ambisi-ambisi Soekarno mendramaka­n Indonesia.

Pada 2006, Amanah Lontar menerbitka­n Antologi Drama Indonesia, empat jilid. Soekarno sebagai seniman tak mendapat perhatian serius. Soekarno mungkin telanjur cuma dimengerti sebagai tukang pidato, penggerak politik, dan presiden ketimbang sebagai seniman. Kerja atau pengabdian seni di Endeh dan Bengkulu hampir hilang dari keutuhan biografi Soekarno dan sejarah Indonesia. (*)

Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi Surakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia