Perjalanan Spiritual Sekaligus Psikologis
Haruki Murakami mengolah dunia batin si protagonis (watak dan kejiwaannya) dengan demikian subtil dan segar melalui teknik inner monologue. Novel Murakami yang paling dekat dengan warna realisnya.
’’Ingatan adalah juru tulis Jiwa” (Plato)
SEORANG mahasiswa semester III yang tengah kuliah di Tokyo ketika libur panjang bermaksud pulang ke kampung halaman di Nagoya. Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, ia akan menghubungi empat orang teman dekatnya: Aka (merah), Ao (biru), Shiro (putih), dan Kuro (hitam).
Tidak seperti biasanya, dengan berbagai alasan, tidak ada seorang pun di antara empat temannya itu mau mengangkat telepon saat si mahasiswa berusaha menghubungi. Dia mencium adanya gelagat buruk dari perubahan sikap dan respons teman-temannya yang ganjil.
Kelak, dari peristiwa tersebut, Tsukuru Tazaki, nama si mahasiswa yang sekaligus protagonis novel ini, terjatuh dalam kehampaan hidup hingga 16 tahun lamanya. Bermula dari peristiwa yang teramat mengganjal pikirannya itu: sikap aneh teman-teman dekatnya tanpa ia mengerti.
Karena dibuang oleh empat orang temannya, dia seperti menjadi manusia terkucil. Dirundung siksaan mental dan psikologi. Kehilangan selera pada segala, termasuk makanan. Yang berakibat berat badannya turun drastis.
Baju-baju yang selama ini dia kenakan melorot. Bahkan, dia sempat disambangi keinginan bunuh diri selama setengah tahun. Pada suatu ketika, pelan-pelan Tsukuru bangkit, dan –meminjam narasi di halaman 65– ’’hari-hari di Nagoya pun berangsurangsur mundur ke masa lampau’.’
Dengan menggunakan penuturan orang ketiga, novel Tsukuru Tazaki berbahan baku nostalgia masa lalu dan rasa kehilangan (teralienasi) pada diri si tokoh utama. Ziarah panjang ingatan dengan orang-orang di masa lalunya. Lantas, perjuangannya untuk menemui mereka kembali satu demi satu di masa depan menjadi gagasan utama kisah prosa ini. Bahkan, perjuangannya pada masa depan itu mengisi dua per tiga novel.
Kalau boleh bilang, ini merupakan novel perjalanan spritual sekaligus psikologis si protagonis guna menemukan dirinya kembali. Dengan cara bertetirah tersebab efek dibuang dari masa lalu oleh orang-orang dekat.
Kelak Tsukuru pada masa depan menjadi orang yang berbeda setelah perjuangannya yang berat menghadapi kenyataan dikucilkan. Dia mengembalikan psikologisnya (menyembuhkan diri) justru dengan berziarah ke masa lalunya. Untuk membongkar realitas-realitas yang masih gelap dari pintu masa depan atas usul pacarnya, Sara Kimoto.
Di sepanjang novel, kita akan dihadapkan kepada ketegangan-ketegangan psikologis yang dihadapi Tsukuru saat di Nagoya, beberapa orang yang sempat menjadi kawan karibnya saat dia tetirah di Tokyo sembari kuliah, dan kelak juga melanjutkan bekerja di perusahaan kereta api (merancang stasiun).
Ya, jika dibandingkan dengan novelnovel Murakami yang dikenal absurd nan sureal, warna realis novel ini paling dekat. Setidaknya dalam urusan tuturan hubungan antarteman dan topik-topik perpisahan mendadak yang membingungkan: saat Tsukuru diusir dari kelompoknya dan disambangi keinginan bunuh diri, rasa-rasanya seperti situasi saat kita mendapati Kizuki tiba-tiba memutuskan bunuh diri juga di lembar awal Norwegian Wood. Dan, kedua novel ini, saya kira, secara gaya penuturannya mendapatkan ilham dan model dari novel pertama Murakami: Dengarlah Nyanyian Angin.
Tampak sekali di lembar-lembar awal novel Murakami getol mengeksplorasi pesimisme, rasa terasing, dan kecemasan si tokoh, sampai pada tahap merasakan (kerinduan akan kematian) oleh gencetan alienasi dan rasa sepi. Sebagaimana novelnovelnya yang lain, meski novel Murakami yang ini terbilang realis, bau surealis dan absurditasnya pun masih ada dan terasa.
Tentu saja jika kita membacanya lurus dari awal, akan kita temui banyak kejutan, termasuk ihwal kisah cinta Tsukuru sendiri yang seperti menggantung. Tapi, jika dibandingkan dengan banyak hal di atas, yang bisa kita nikmati dan mungkin pelajari dari novel ini adalah bagaimana Murakami mengolah dunia batin si protagonis (watak dan kejiwaannya) dengan demikian subtil dan segar melalui teknik inner monologue:
bagaimana dia membangun suasana suram, kedalaman monolog si protagonis dengan dirinya sendiri. Berpusat dari situasi dan perasaan aneh dari dalam jiwanya, di antaranya, karena faktor ’’nama Tsukuru Tazaki yang tidak mengandung warna’’. (*)