Jawa Pos

’’Rai’’-mu

-

LEBARAN kali ini Sastro cuma duaan. Wuiiih... So sweeeeeeet…

No. Bukan duaan ma Jendrowati kekasihnya. Tapi berdua cuma dengan kakeknya. Kalaupun ada pihak lain, bocah bungsu dari keluarga menengah itu cuma dipihaki oleh tape ketan ijo dan madumongso.

Undak-undakan sawah-sawah terhampar di buritan mereka. Nun dari balik bukit terdengar takbir dari toa masjid. Kakek Sastro, lelaki yang sudah hampir 100 tahun usianya, meraba-raba marmer meja. Kalau tangan itu di-sharelocat­ion kerut-kerutnya berlokasi di antara mangkuk tape ketan ijo dan toples madumongso.

’’Anakku, tanganmu di mana, ya?”

’’Kakek, aku bukan anakmu. Aku cucumu. Tanganku ada di sayap kiri madumongso.”

Tangan kakek terus grepe-grepe. Sastro ndak srantan mengambil tangan kakek dengan tangan kanannya.Dielus-eluskannya­ituke tangan kirinya. Aduh, telapak tangan kakek kasar sekali. Dan kaku. Persis daun gadung yang dulu umbinya kerap Sastro jadikan keripik.

Kakek bertanya, ’’Ayahmu kenapa? Ayahmu sudah tidak pernah berlebaran ke sini lagi.”

’’Ayahku sudah lama meninggal. Tuh makamnya ada di balik bukit.”

Kakek manggut-manggut. Pertengaha­n lidahnya yang pucat menyembul-nyembul dari mulutnya yang senantiasa n g o w o h. Sesekali air liurnya meluap. Kalau luapan sudah banyak, kadang kakek menyekanya dengan punggung tangannya, kadang menyeruput­nya kembali.

Kakek bertanya, ’’Anakku, apakah rai-mu menarik?”

’’Hadeuuuuh... Aku bukan anakmu. Aku cucumu.”

Sastro tak akan jengkel begini terus bila Lebaran kali ini cuma berdua dengan kekasihnya. Sayangnya Jendro memutuskan ke Palestina. Untuk membuktika­n apakah rakyat Palestina marah karena baru saja ada petinggi PBNU yang juga petinggi istana mengunjung­i hajatan resmi di Israel.

’’Kunjungank­u bukan untuk itu,” tandas Jendro kepada diri sendiri. ’’Lawatanku cuma untuk menyigi apakah orang Palestina masih punya program latihan kesabaran. Dulu Indonesia punya. Namanya program tahunan latihan sabar mudik Lebaran. Tapi sekarang mudik Lebaran sudah lancar.”

Ini, menurut Jendro, sangat berbahaya. Saat pilgub dan pilpres nanti orang-orang akan pada nggak sabaran semua karena belum dilatih sabar dalam suasana kemacetan panjang arus mudik.

Kakek bertanya lagi, ’’Anakku, apakah rai-mu menarik?”

’’Sama sekali tidak, Kek,” Sastro kian jengkel. ’’Dan aku bukan anakmu, Kek. Aku cucumu.’’

’’Anakku, apakah kamu juga masuk partai politik?’’

Sastro geleng-geleng mengulum madumongso. Eh, sadar bahwa rabun kakeknya sudah kelas berat akhirnya digantinya bahasa tubuh itu dengan bahasa yang lebih lazim: ’’Tidak, Kek, aku tidak masuk partai politik.”

’’Anakku!” suara kakek meninggi. ’’Jangan bohong. Tegategany­a kamu membohongi diriku. Bagaimana rai-mu bisa tidak menarik kalau kamu bukan orang politik?”

’’Hadeuuuh, Kakek ngomong apa, aku ndak mudeng. Aku juga bukan anakmu. Aku cucumu...’’

Ya, ya... Wajah kakek menerawang seolah baru paham bahwa bocah yang kini diajaknya ngomong bukanlah anaknya, tetapi cucunya. Sejurus kemudian, ’’Anakku. Ayahmu tidak pernah mau dengar petuah pentingku. Liurku sampai muncratmun­crat, tetap saja ayahmu akhirnya masuk ke... Itu yang banyak umbul-umbul dan pekikpekik­nya itu lho...”

’’Umbul-umbul, pekik-pekik politik... Itu partai.”

’’Akhirnya ayahmu tetap ngotot ingin pergi ke pasar saja. Aku bilang, buat apa pergi ke pasar. Di sana sudah banyak orang. Pergilah ke kuburan. Merenung.”

Lebaran berikutnya Sastro ingin menanyakan makna ’’pasar’’ dan makna ’’kuburan’.’ Tapi kakek keburu meninggal. Pusaranya di bukit yang sama dengan nisan anaknya, tapi berseberan­gan ideologi, eh, berseberan­gan lereng. (*)

Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia