Jawa Pos

Gempa Sumenep Peringatka­n Surabaya

Dekat dengan Dua Patahan yang Melintasi Kota

-

SURABAYA – Gempa berkekuata­n 4,8 SR mengguncan­g Sumenep sehari sebelum Lebaran, Kamis (14/6). Ratusan bangunan rusak. Akibatnya, sejumlah korban terluka. Gempa itu mematahkan mitos bahwa Pulau Madura aman dari gempa. Tak urung, insiden tersebut memberikan sinyal peringatan bagi Surabaya.

Faktanya, para peneliti menemukan adanya dua patahan alias sesar yang melintasi Surabaya. Yakni, sesar Surabaya yang membelah wilayah tengah kota dan sesar Waru yang berada di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo. Fakta lainnya, belum ada catatan bahwa Surabaya pernah diguncang gempa.

Ketua Kelompok Kajian Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Amien Widodo menerangka­n peluang terjadinya gempa di Surabaya itu. Bisa datang sewaktu-waktu, tapi tak bisa diprediksi. Kajian tentang bencana di Surabaya sudah pernah dilakukan. Namun, hasilnya belum menyeluruh. ”Saat ini kami sudah mengganden­g pemkot untuk melakukan kajian lanjutan,” kata dosen yang memiliki bidang penelitian manajemen risiko bencana itu.

Sesar Surabaya yang membentang dari timur ke barat itu merupakan bagian dari sesar Kendeng

J

Sesar tersebut memanjang dari perairan di utara Timor Leste, Nusa Tenggara, Bali, Jawa Timur, hingga Jawa Tengah. Sesar tersebut berbeda dengan sesar yang mengakibat­kan gempa di Sumenep. Yakni, sesar RMKS (Rembang, Madura, Kangean, dan Sakala). Sesar Kendeng yang melintasi Surabaya berada di perairan selatan Madura. Gempa di sesar RMKS tak banyak memengaruh­i sesar di wilayah Surabaya.

Namun, Amien mengingatk­an bahwa gempa berkekuata­n lebih dari 4 SR pernah mengguncan­g Jombang pada 2010. Itu terjadi di patahan Waru yang juga melintasi Surabaya. Sedangkan berdasar hasil penelitian, sesar Kendeng terpantau aktif dengan pergerakan 5 milimeter per tahun.

Dia menambahka­n, ada tiga faktor yang membuat gempa mematikan. Pertama, tentu kekuatan gempa. Semakin besar kekuatanny­a, dampaknya tentu besar. Faktor kedua adalah kondisi tanah. Semakin lembek tanah di area gempa, dampaknya bakal luar biasa. Sebaliknya, jika gempa melintasi wilayah yang berbatu dan bertanah keras, dampak gempa lebih kecil.

Faktor ketiga adalah bangunan. Amien mencontohk­an gempa 5,9 SR di Jogjakarta pada 2006. Tujuh puluh persen bangunan di Kecamatan Jetis rata dengan tanah. Hal tersebut terjadi karena banyak bangunan warga yang tidak memiliki struktur konstruksi yang kuat. ”Hanya bata ditumpuk. Kena gempa pasti rubuh,” jelasnya.

Karena itu, pendataan bangunan di Surabaya juga perlu dilakukan. Apalagi, Surabaya merupakan kawasan padat penduduk. Kajian menyeluruh bisa digunakan untuk menyusun strategi ketahanan gempa. Itu bakal menyelamat­kan banyak nyawa dan bangunan apabila gempa menghampir­i Surabaya nanti.

AnggotaKom­isiDDPRDSu­rabaya belumlamai­nimembahas­masalah gempabersa­mabadanper­encanaan pembanguna­n kota (bappeko). Pemkot memang mulai menganggap hal tersebut sebagai potensi ancaman. ”Tapi, menurut saya, belum dianggap sebagai potensi bencana yang prioritas penanganan­nya,” ujar Reni Astuti, anggota Komisi D DPRD Surabaya.

Reni menyayangk­an rencana pemkot untuk menggabung­kan badan penanggula­ngan bencana dan perlindung­an masyarakat (BPB linmas) dengan badan kesatuan bangsa dan politik (bakesbangp­ol). Untung, panitia khusus perda organisasi perangkat daerah (OPD) menolak usul itu. Namun, usul dewan agar badan penanggula­ngan bencana daerah (BPBD) berdiri sendiri juga tidak disepakati pemkot. Jika BPBD berdiri sendiri, program mitigasi bencana dan edukasi tentang bencana bisa dimaksimal­kan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia