Korupsi Kepala Daerah karena Biaya Mahal?
KEPALA daerah (gubernur dan bupati/wali kota) yang terjerat kasus korupsi, baik oleh KPK maupun penegak hukum lainnya, seperti kacang goreng. Kasus korupsi yang mendera kepala daerah itu seperti berondongan gol Lionel Messi. Rasanya baru terperangah atas kasus satu kepala daerah, lalu terbelalak lagi karena muncul kasus berikutnya.
Secara agak berkelakar seorang teman memberikan analisis mengapa kasus-kasus itu terus terulang. ”Mereka tidak takut melakukannya karena praktik korupsi itu untunguntungan. Kalau tidak terendus, apalagi tertangkap, mereka merasa beruntung. Kalau tertangkap, itu karena lagi apes saja!’’ kata teman itu.
Berdasar argumentasi semacam itu, teman itu mengatakan bahwa adanya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sebelumnya masih belum memberikan efek jera kepada mereka yang memegang jabatan itu untuk tidak mengulanginya. Masih ada juga yang nekat melakukannya.
Dari kasus-kasus yang menjerat kepala daerah itu, kasus penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain itu terfokus pada dua sumber. Pertama, terkait alokasi dan distribusi proyekproyek pembangunan, baik fisik maupun nonfisik, dan penerimaan izin. Sudah menjadi perbincangan umum, proyek-proyek itu tidak lepas dari apa yang disebut ”fee”, yang nominalnya bervariasi.
Kedua, terkait dengan kekuasaan untuk ”mengangkat pejabat birokrasi”. Bukan rahasia lagi, di sejumlah daerah, terdapat praktik ”pemberian fee” dari pejabat-pejabat tertentu yang hendak diangkat maupun setelah diangkat.
Dua hal itu sebenarnya merupakan isu lama. Karena itulah, terus ada usaha untuk memperbaikinya agar tidak terus direproduksi. Soal proyek, misalnya, terdapat upaya memperbaiki sistem agar pengadaan dilakukan secara terbuka, termasuk melalui pemanfaatan teknologi informasi. Demikian juga, soal rekrutmen dan pengisian jabatan-jabatan coba dilakukan secara terbuka.
Tetapi, yang namanya kejahatan, titik kelemahan upaya perbaikan itu juga dicari. Buntu di satu tempat, dicari lubang-lubang di tempat-tempat lainnya. Yang terjadi kemudian, praktik korupsi terus saja direproduksi.
Biaya Mahal? Satu isu yang menjadi perdebatan mengapa praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah itu terjadi adalah karena mahalnya biaya di dalam pemilihan. Para calon yang hendak berkompetisi harus berpikir serius tentang modal ekonomi yang dimilikinya sebelum berniat maju.
Sebenarnya, upaya untuk mengurangi biaya di dalam pemilihan secara sistematis telah dikurangi. Pertama, melalui penggabungan pelaksanaan pemilihan. Kedua, menyederhanakan kampanye dan pemasangan simbol-simbol yang terkait dengan kampanye.
Tetapi, upaya penyederhanaan kampanye semacam itu menjadi kurang bermakna karena jauh hari sebelum ditetapkan sebagai calon tetap, para calon itu telah aktif melakukan ”kampanye’’ melalui berbagai cara, seperti pemasangan gambar di berbagai penjuru wilayah pemilihan, pembentukan tim sukses, termasuk menyewa konsultan, membayar iklan, dan aktivitas di berbagai wilayah. Semua itu tentu bukan tanpa biaya.
Setelah berkompetisi pun, para calon itu harus mengeluarkan biaya yang tidak kecil. Upaya meraih dukungan dari pemilih membutuhkan aneka gerakan dan setiap gerakan itu tentu memerlukan biaya. Saat pemilihan juga tetap membutuhkan biaya. Tim saksi di berbagai tempat pemungutan suara (TPS), realitasnya tidak dilakukan secara volunter tanpa biaya. Dalam banyak hal, para saksi di TPS itu juga membutuhkan biaya yang tidak ringan.
Tidaklah mengherankan kalau untuk berkompetisi memperebutkan jabatan kepala daerah itu, dibutuhkan uang miliaran, puluhan miliar. Bahkan, di daerah tertentu konon dibutuhkan biaya ratusan miliar.
Di pihak lain, gaji kepala daerah tergolong kecil. Dari sinilah lalu muncul analisis sederhana. Para kepala daerah yang terpilih itu dipandang tidak seluruhnya ikhlas mengeluarkan biaya pemilihan sebagaimana memberikan infak dan sedekah.
Memang, masalah biaya besar itu bisa diatasi melalui gerakan volunterisme, yaitu penyumbangan yang dilakukan oleh simpatisan yang menginginkan seseorang terpilih dan menjadi pemimpin untuk memperbaiki daerahnya. Tetapi, hal demikian masih jauh dari kenyataan. Volunterisme di dalam pemilihan, termasuk pemilihan kepala daerah, justru semakin jarang ditemukan.
Ketamakan Tetapi, praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah itu bukan semata-mata karena biaya pemilihan yang tinggi. Praktik semacam itu juga didorong oleh rasa tamak yang menyelimuti mereka.
Dalam hak ketamakan, praktik korupsi dilakukan bukan hanya untuk menutup biaya pemilihan. Praktik itu didasari oleh keinginan memperoleh rezeki yang bukan haknya sebanyak-banyaknya.
Realitas semacam itu tidak berarti bahwa kita tidak perlu lagi memiliki proses pemilihan pemimpin yang demokratis. Pemilihan itu tetap penting dilakukan agar terpilih pemimpinpemimpin terbaik. Yang perlu terus diikhtiarkan adalah mengurangi biaya pemilihan, menjadikan prosesnya sebagai gerakan volunterisme, dan pentingnya kesadaran untuk memperbaiki niat bahwa menjadi kepala daerah mewujudkan nilai menjadi sebaikbaik orang ketika bermanfaat untuk banyak orang. *) Guru besar Unair, wakil rektor Universitas NU Surabaya