Messi dan Mitos Itu
MAHFUD IKHWAN
Penulis buku, tinggal di Jogjakarta
MEMBACA ulang buku Jonathan Wilson tentang sejarah sepak bola Argentina, Angels with Dirty Faces (2016), saya selalu kembali ke kesimpulan yang sama: ia mengadaada. Tentang para malaikat buruk rupa pujaan orang Argentina, para pahlawan tak sempurna mereka, termasuk pahlawan-pahlawan bolanya, itu pasti dibuat-buat. Orang-orang Argentina itu hanya terlalu fanatik dengan judul film Hollywood lama. Dan, Wilson menelannya begitu saja.
Saya pikir mitos itu pasti dibikin untuk membuat bocah cebol, berkepala galon, dan badung macam Maradona pas dengan imajinasi orang Argentina. Karakter separo Indian, miskin, tumbuh dan besar dari villa miseria, serta punya keculasan jalanan itu muncul setelah Maradona, kemudian dijadikan teori, dan dipercayai sendiri oleh mereka.
Sebagai pendukung Argentina sejak mengenal sepak bola, saya enggan menerima mitos itu. Mungkin karena saya bukan orang Argentina, berjarak dengan sejarah dan kehidupan mereka. Tapi, terutama karena itu tak penting. Saya tak begitu peduli sang penolong itu seperti apa wujudnya. Entah malaikat atau iblis, atau bahkan Tuhan, yang penting mereka mesti memenangkan sesuatu –jangan cuma ’’medali level Porseni’,’ seperti diejekkan teman saya yang pendukung Jerman.
Jika orang seperti Tevez, atau Ortega, atau Riquelme, yang sangat memenuhi syarat sebagai Malaikat Buruk Rupa, tak memberikan apaapa, lalu buat apa?
Sayangnya, kelihatannya, Messi sendiri memercayainya.
***
Ketika muncul kali pertama dari tepi lapangan Camp Nou pada pertengahan Oktober 2004, dia begitu manis. Belum genap 18 tahun, dengan tubuh kecil rampingnya, dengan rambut panjang sepundak berombak, dia seperti anak anjing lincah yang menggemaskan. Semua orang ingin pegang. Dan, gadis-gadis belia datang ke stadion dengan kertas karton bertulis tangan: ’’Messi, Marry Me’.’
Lalu, gelar-gelar bersama Barca itu berdatangan. Tiga puluh dua jumlahnya. Jagat raya pun dipersuntingnya. Seiring dengan itu, juara Piala Dunia U-20 dan emas Olimpiade didapatnya. Dilengkapi dua gol dengan tangan dan gocekan dari tengah lapangan yang diciptakannya ke gawang Espanyol dan Getafe di pertengahan 2007, semua orang berpikir Maradona baru telah lahir. Tak seperti Maradona-Mara- dona baru sebelumnya, macam Ortega, Ibagaza, Aimar, Saviola, D’Alessandro, hingga Tevez yang masih berupa nujuman, kepada Messi orang-orang benar percaya.
Meski keduanya sangat berbeda, Maradona sendiri memercayai Messi memanglah pewarisnya. Secara verbal, dia mengatakannya. Tapi, yang paling jelas bisa kita lihat dari caranya memperlakukan Messi ketika jadi pelatih Argentina. Di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, Maradona ingin Messi seperti dirinya, bermain sepertinya, bermain di posisinya. Namun, percobaan –juga harapan– itu hancur, sehancur-hancurnya; di kaki musuh yang salah: Jerman.
Bagaimana Anda tak berharap kepada seseorang yang setiap tahunnya jadi pemain terbaik dunia?
Dan, Messi bukannya tak peduli dengan harapan itu. ’’Aku mau menukar rekor apa pun yang kupunya untuk membuat orang Argentina bahagia,’’ katanya.
Sayangnya, itu hanya tiga final. Dan, final selalu berjarak jutaan tahun cahaya dengan juara.
***
Seperti bisa kita saksikan dalam pertandingan melawan Islandia, kadang Messi tampak mencoba terlalu keras. Saya menyangka, dia bahkan mengupayakannya di luar lapangan. Dan, karena itu, saya pikir dia percaya dengan mitos soal Malaikat Buruk Rupa itu.
Lalu, kita mendapati tato-tato itu. Kemudian, berewokan di wajahnya. Ya, tentu saja kita tahu bahwa tatotato itu untuk anaknya, sementara berewokan itu mungkin ditujukan agar lebih tampak kebapakan. Tapi, tak bisa diabaikan, terpikir juga kemungkinan bahwa dengan tato 18 JUNI dan berewokan itu, Messi sengaja ingin terlihat lebih garang. Ingin sedikit agak ’’buruk rupa’.’ Ingin menjadi kapten Argentina yang lebih sempurna, sebagaimana Passarella dan Maradona.
Messi nglokro setelah gagal secara beruntun di final ketiganya di Amerika. Dia menyatakan pensiun dari timnas.
Itu bukan saja keputusan yang buruk; alih-alih keputusan seorang kapten yang gagal, itu lebih dekat dengan keputusan seorang bintang yang tak sanggup membuktikan diri. Namun, yang lebih buruk, hanya dalam hitungan hari, dia menyatakan kembali.
Karena itu, saya bukan termasuk orang yang kaget dengan ketakberdayaan Messi di depan gawang Hannes Halldorson. Dan, saya tak akan terkejut jika Argentina pulang sangat awal, seperti di Jepang-Korea 2002.