Merintis dari Pameran Pribadi
BERNAMA lengkap Multaza Akbar Junaedi, remaja ini tertarik di bidang kuratorial sejak menginjak bangku perkuliahan. Kerja-kerja kuratorial sebenarnya pernah dia lakukan secara tidak sadar saat dirinya mulai aktif sebagai mahasiswa Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Namanya melambung ketika Akbar menjadi kurator di International Architecture Conference 2017 silam. Dia berkolaborasi dengan beberapa seniman arsitektur, yakni Fikri Izza, Quinzha, dan Bramantyo yang berkonsetrasi pada seni visual.
Akbar juga mengajak seniman video dari Matamerah Films yang menampilkan sebuah film dokumenter berjudul Bayang-Bayang. ”Aku mulai tertarik dengan kuratorial, khususnya di bidang arsitektur konseptual, saat sadar bahwa pemikiran di bidang akademik tentang arsitektur tidak hanya berbicara tentang teksi. Namun juga melewati berbagai tahapan yang harus di pertimbangkan. Mulai perilaku manusia, konteks kota, dan banyak lain,” ujar pria yang akrab disapa Uned tersebut.
Sebelum memulai karir sebagai kurator, pemikiran Uned tentang segala keterkaitan kuratorial lahir dari diskusi-diskusi kecil di lingkungan pertemanannya. Dia pun memulai semua itu dari hal-hal kecil. Dari membuat catatan tentang pameran tugas akhir karya pribadi dan teman-teman dekatnya hingga ke tahap yang lebih serius, yakni mulai mengelola seniman muda untuk melakukan ekshibisi dan menyiapkan wacananya.
”Itulah yang membuat saya memutuskan untuk membuat kolektif grup diskusi regular yang membicarakan tentang arsitektur konseptual bernama Rabung Maddah ini. Dari situ, muncul ide-ide membuat pameran yang membahas tentang argumentasi arsitektur,” imbuhnya.
Lewat kiprah Uned, Surabaya memiliki harapan baru tentang regenerasi kurator yang mulai minim. Hadirnya generasi muda yang serius melakukan kajian menerjemahkan suatu karya dari seniman juga membuka peluang para seniman untuk melakukan ekshibisi menjadi lebih besar. Dengan demikian, kesenian di Surabaya pun akan terus berkembang.