Muncul Bukti Tangis dan Kerangkeng
Pemerintah Bela Kebijakan Imigrasi
BROWNSVILLE – Foto gadis kecil berkaus merah yang menangis di belakang sang ibu yang sedang diperiksa petugas di perbatasan Amerika Serikat (AS) dan Meksiko menyentuh hati First Lady Melania Trump. Senin (18/6) foto bocah-bocah dalam ”kandang” di kamp penampungan sementara imigrasi membuat politikus Partai Demokrat dan Partai Republik saling menyalahkan. Kini muncul rekaman audio yang berisi suara tangis anak-anak yang ”kehilangan” orang tua mereka.
”Papa! Papa!” teriak seorang bocah sambil menangis. Rekaman yang kali pertama diperoleh ProPublica dan kemudian disebarluaskan oleh Associated Press itu menuai reaksi keras masyarakat internasional.
Pengacara HAM (hak asasi manusia) Jennifer Harbury mengecam kebijakan yang Presiden Donald Trump terapkan sejak Mei 2017 tersebut. Dia menyebut pemisahan paksa anak-anak dari orang tua masing-masing sebagai tindakan zero humanity.
Dalam rekaman itu, terdengar suara seorang petugas perbatasan yang menanyai dua bocah. Di sela tangis mereka, dua bocah yang mengaku berasal dari El Salvador dan Guatemala tersebut menjawab pertanyaan si petugas. Salah seorang di antaranya mengatakan akan dijemput bibinya karena sang ibu ditahan petugas. ”Ibu minta bibi saya menjemput agar saya bisa segera meninggalkan tempat ini,” kata bocah tersebut.
Kemarin (19/6) Reuters melaporkan bahwa bocah perempuan dalam rekaman audio itu sudah bertemu dengan bibinya. Kepada ProPublica, sang bibi mengatakan bahwa keponakannya yang berusia enam tahun tersebut meninggalkan El Salvador bersama ibunya sekitar satu bulan lalu. Dia tidak menyangka bahwa sang keponakan menjadi salah seorang korban kebijakan Trump di perbatasan AS-Meksiko.
”Coba bayangkan, saya tibatiba mendapatkan telepon dari keponakan yang menangis. Dia memohon saya menjemputnya di perbatasan. Dia berjanji untuk patuh dan tidak berulah asal boleh tinggal bersama saya. Itu fakta yang sangat menyedihkan,” papar perempuan yang mengaku sebagai bibi bocah tersebut.
Tangisan mendominasi percakapan yang direkam secara diam-diam oleh ProPublica itu. Jika suara tangis bocah-bocah yang tercerai-berai dari orang tua mereka tersebut membuat hati orang-orang yang mendengarnya tersentuh, tidak demikian petugas di perbatasan. Dia malah mengolok-olok anak-anak migran tersebut. ”Ini seperti orkestra, ya? Hanya, tidak ada dirigennya,” ucap si petugas seperti dilansir BBC.
Harbury mengatakan, ProPublica merekam tangisan dan percakapan tersebut sekitar sepekan lalu. Tapi, lembaga itu tak mau menyebut tempat dan waktu kejadian untuk melindungi aktivis yang merekam adegan tersebut.
Sejak dirilis kali pertama pada Senin, rekaman audio berdurasi delapan menit itu lantas menjadi amunisi bagi politikus Demokrat dan Republik untuk saling menjatuhkan. Dalam jumpa pers di Gedung Putih, Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Kirstjen Nielsen menegaskan bahwa pihaknya tetap menerapkan kebijakan imigrasi tersebut.
Ketika seorang wartawan perempuan minta pendapatnya tentang foto bocah-bocah yang ”dikerangkeng” di Texas dan rekaman audio ProPublica, politikus perempuan itu mengaku belum melihat dan mendengar langsung semuanya. Kendati demikian, dia berani menjamin bahwa anak-anak yang dipisahkan dari orang tua mereka dan terpaksa ditampung sementara oleh pemerintah itu mendapatkan perlakuan yang layak. ”Kami menerapkan standar tinggi di tempat-tempat penampungan sementara itu. Saya pastikan, anak-anak itu diperlakukan dengan sangat baik,” ungkapnya seperti dikutip CNN.
Kemarin media AS menyebarluaskan foto deretan tenda yang akan menjadi penampungan sementara anak-anak migran tersebut. Deretan tenda berwarna putih siap menjadi rumah bagi anak-anak yang terpisah dari orang tua mereka itu. Nielsen menegaskan bahwa kota tenda itu tidak akan bersifat permanen. Sebab, Trump tidak mengizinkan lahirnya kamp penampungan migran di AS.
Fenomena yang sama muncul di Kanada dan Australia. Juga, yang paling penting, selain di AS, anak-anak migran dibiarkan tetap tinggal bersama orang tua mereka entah di rumah tahanan atau kamp pengungsian.
Senin sekitar 80 migran divonis bersalah karena nekat memasuki AS tanpa dokumen lengkap. Sebagian lain ditahan karena punya catatan kriminal di negara asal. ”Bagaimana nasib anakanak saya?” kata seorang migran yang dipisahkan dari anaknya secara paksa. Kini vonis bersalah itu membuat dia tidak bisa lagi berjumpa dengan anaknya dalam jangka waktu yang lama.
”Kebijakan itu harus diubah. Kita tidak bisa memperlakukan mereka seperti itu. Itu bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita,” tegas Nancy Pelosi, politikus Demokrat yang menjabat ketua minoritas House of Representatives AS. Kemarin dia dan beberapa politikus Demokrat lainnya meninjau lokasi penampungan anak-anak migran di San Diego.