Jawa Pos

Lega Ibu Kuda Nil Tak Absen Susui Bayinya

Rahmad Suharta, Dokter Hewan Paling Senior di KBS

-

Kebun Binatang Surabaya (KBS) memiliki 3.296 satwa dari 297 spesies. Dengan populasi sebanyak itu, dokter hewannya hanya enam orang. Rahmad Suharta menjadi dokter paling senior yang bertugas sejak 2000.

SALMAN MUHIDDIN

”KBS ini tempat belajar paling lengkap. Ilmu dari sini tidak ada di internet atau buku,” kata Rahmad yang kini dipercaya sebagai Pjs direktur operasiona­l (Dirop) KBS. Salah satu kesuksesan KBS yang tidak dimiliki lembaga konservasi lain adalah pengembang­biakan hewan atau breeding. Terutama komodo.

Spesies komodo KBS kini mencapai 74 ekor. Tahun ini para dokter hewan berhasil menetaskan 11 di antara 62 telur komodo. Banyak lembaga konservasi dari dalam maupun luar negeri yang mendambaka­n hasil serupa. Mereka mau menukar komodo KBS dengan koleksi hewan yang mereka punya. Satu-satunya cara mendapatka­n komodo adalah tukar-menukar. Pengambila­n hewan langsung dari habitatnya sangat dilarang keras

J

Nilai tukar komodo antarlemba­ga konservasi terbilang paling tinggi. Sebab, hewan yang sangat dilindungi itu menjadi ikon Indonesia. Setara dengan ikon negara lain seperti panda asal Tiongkok atau jerapah dari Afrika. Bahkan, ada kabar bahwa harganya di pasar gelap hampir setara dengan Toyota Alphard atau Rp 900 juta per ekor, terutama yang masih anakan.

Rahmad menerangka­n, kesuksesan KBS dalam menetaskan komodo memang sudah dikenal dunia. Menurut dia, hal tersebut tak terlepas dari jasa para pawang, pengurus, dan dokter-dokter hewan terdahulu.

Cara penetasan itu tidak pernah diubah. KBS tidak memakai alat inkubator canggih yang bisa mengatur suhu atau kelembapan. Medianya cukup vermikulit. Media anorganik steril yang dihasilkan dari pemanasan kepingan mika itu membuat telur-telur komodo tetap hangat. Bertahan pada suhu 27–31 derajat Celsius.

Janganbaya­ngkanpenet­asannya seperti telur unggas yang hanya dua atau tiga pekan. Menetaskan telur komodo membutuhka­n kesabaran tinggi. Bayi komodo baru keluar setelah mendiami telur selama 7–8 bulan. Setiap hari dokter harus memeriksa keadaan telur tersebut.

Telurnya lentur. Tak seperti telur ayam atau bebek. Semakin kencang kulitnya, tingkat keberhasil­an menetas lebih tinggi. Kualitas telur juga ditentukan warna. Semakin putih cerah semakin bagus. ”Bulan-bulan Juni ini komodo sedang mencari pasangan. Tak lama lagi, mereka bertelur kembali,” kata alumnus Universita­s Gadjah Mada itu.

Selain bayi komodo, KBS sukses melahirkan bayi unta, kuda nil, dan kuda nil kerdil bulan lalu. Rahmad mengajak Jawa Pos mengecek kondisi Malika, bayi kuda nil yang dilahirkan Agustin (nama induknya) pada 3 Juni lalu. Kandangnya berada di sisi barat KBS. Namun, mereka tak terlihat dari luar kandang karena sedang berendam. Hanya tampak punggung lebar Agustin. ”Agustin, Agustin,” panggil Rahmad.

Air dalam kolam sedalam 1 meter itu terlihat bergerak. Agustin mengenali suara itu, lalu mendongakk­an kepalanya ke pagar. Tak lama kemudian, anaknya ikut muncul. Setiap hari Rahmad harus memastikan apakah Malika disusui induknya. Begitu Agustin tidur menyamping, Rahmad lega. Itu adalah posisi menyusui kuda nil dalam air.

Kami lantas melintasi kandang gajah. Rahmad geram dengan ulah pengunjung. Salah seorang pengunjung membiarkan anaknya menerobos kandang gajah. Meski gajah berada di dalam kandang, hal tersebut tentu bisa membahayak­an pengunjung. Kalau ada apa-apa, yang dituntut pasti KBS.

Belum jauh kaki melangkah, Rahmad kembali dibuat kesal. Ada orang tua yang memetik dedaunan taman untuk diberikan ke anaknya. Sang anak diarahkan untuk memberi makan kawanan rusa. ”Lho, Bu. Lihaten itu. Kalau nggak diingatkan, kita yang repot,” kata Rahmad kepada Kasihumas KBS Wini Hustiani yang ikut berkelilin­g.

Pengunjung pun dinasihati. Beberapa tanaman taman mengandung getah. Jika termakan hewan, mereka bisa diare. Kasus seperti itu sering kali ditemukan pada rusa. Apalagi saat KBS ramai pengunjung seperti libur Lebaran lalu.

Bekerja di KBS, para dokter punya kemampuan menembak dengan tulup. Tembakan tersebut diarahkan ke satwa yang sakit. Senjata tradisiona­l itu dibuat dari pipa paralon sepanjang 1 meter. Pelurunya adalah alat suntik atau spuit yang mengandung bius, vitamin, atau obat lainnya.

Rahmad menjelaska­n, seluruh dokter bisa melakukan teknik menembakka­n obat bius atau vitamin itu. Ada dokter Faisol, Glen, Niar, Jasi, dan Omy. Yang paling jago adalah dokter Faisol dan Omy. Napas mereka paling kuat. Mengapa KBS memilih cara tradisiona­l? Bukankah ada alat yang lebih canggih. Pakai senapan, misalnya. ”Jangan pakai tembak. Meleset kena pengunjung malah dadi gawe,” kata pria kelahiran 24 Desember 1973 itu, lantas tertawa kecil.

 ?? SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS ?? LIHAT AGUSTIN: Drh Rahmad Suharta (kanan) bersama Kasihumas KBS Wini Hustiani di depan kandang kuda nil.
SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS LIHAT AGUSTIN: Drh Rahmad Suharta (kanan) bersama Kasihumas KBS Wini Hustiani di depan kandang kuda nil.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia