Lampu Kuning Lemasnya Rupiah
HARI-HARI terakhir, kepala Menteri Keuangan Sri Mulyani pasti pening. Sebab, nilai rupiah sudah terdepresiasi hingga Rp 14.300 per dolar AS. Menurut akun Strategi+Bisnis, setiap penurunan Rp 100 terhadap dolar, utang pemerintah akan naik Rp 10 triliun. Dalam enam bulan ini, rupiah sudah jatuh sekitar Rp 500. Karena itu, nilai utang bertambah Rp 50 triliun.
Bayangkan saja, utang bertambah Rp 50 triliun tanpa kita ngapa-ngapain. Akun yang sama juga menulis bahwa utang PT Garuda Indonesia yang sebesar Rp 42 triliun menambah lagi Rp 130 miliar gara-gara depresiasi tersebut.
Karena itu, jika ada yang bilang bahwa pelemahan rupiah tidak berdampak ke kehidupan sehari-hari, jelas dia hidup dalam sistem barter. Tidak pakai uang. Sebab, hampir semua barang dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan bahan impor. Termasuk, satu-satunya industri nasional yang mulai hulu hingga hilir (produksi sampai konsumsi), yakni industri rokok, pasti terpengaruh.
Memang banyak pakar ekonomi yang menyebut lemasnya rupiah itu tidak berarti merahnya kinerja sektor ekonomi nasional. Melainkan, lebih terimbas faktor luar. Misalnya perang dagang AS-Tiongkok dan negara-negara lain. Kemudian, naiknya suku bunga The Fed yang membuat dolar kembali ke rumahnya. Mereka juga menunjukkan bahwa bukan rupiah saja yang terpukul. Salah satu yang paling parah adalah lira Turki.
Meski benar, argumentasi sebagus itu tetap tidak akan membuat daya beli rakyat tiba-tiba meningkat. Tetap masyarakat menengah ke bawah yang paling terpukul dari situasi seperti itu.
Situasinya memang belum terasa. Tapi, perlahan barang-barang yang berbahan impor akan tetap terpengaruh. Jika tidak ada intervensi apa-apa, industri menengah ke bawah akan terjebak dilema. Mau menaikkan harga, pasar sedang lesu. Tapi, tidak menaikkan harga, bahan baku naik harga.
Pemerintah seharusnya segera tanggap dengan situasi seperti itu. Mereka harus melakukan intervensi dan mengeluarkan beleid yang bisa menjaga daya beli masyarakat. Apalagi, ada momentum untuk itu. Sebentar lagi cengkih akan panen raya. Lalu, menyusul tembakau. Semoga saja harganya tetap bagus sehingga bisa menjadi pelumas untuk ekonomi yang bergerak ke arah seret tersebut.
Sementara itu, pembagian dana desa juga harus makin dioptimalkan. Jangan sampai program yang bagus dan menggulirkan kapital ke desa-desa tersebut gagal mencapai tujuannya. Yakni, menjadi pengungkit ekonomi desa dan menjaga daya beli masyarakat tetap stabil. Tidak sampai turun.