Jawa Pos

Menonton Belgia versus Inggris, Mengingat Dinamit Denmark

-

30 JUNI

MAHFUD IKHWAN

Penikmat sepak bola, pencinta film Bollywood, lahir di Lamongan

”BILANG kepada para pemainku untuk mengalah? Itu tidak akan kulakukan. Itu bukan jiwa sepak bola.” Begitu kata pelatih Sepp Piontek menjelang pertanding­an terakhir grup antara tim yang diasuhnya, Denmark, melawan tim dari negaranya, Jerman Barat, pada grup E Piala Dunia 1986 di Meksiko.

Padahal, skenario menarik sudah menunggu pada babak 8 besar. Jika kalah, mereka akan menjadi runner-up grup dan akan menghadapi pemimpin klasemen grup F, Maroko. Kalau imbang atau menang, mereka akan tetap memimpin klasemen grup dan menghadapi runner-up grup D sekaligus lawan yang lebih alot, Spanyol, finalis Piala Eropa 1984.

Itu pilihan mudah, bukan? Lagi pula, apa janggalnya kalah oleh Jerman Barat. Tapi, Piontek dan para pemain Denmark lebih memilih ”jiwa sepak bola” dibanding lawan enteng di babak berikutnya. Tim yang beberapa hari sebelumnya merebut hati dunia setelah membantai juara dunia dua kali Uruguay 6-1 itu maju dengan gagah berani. Jerman Barat mereka hantam 2-0. Untuk kemenangan itu, mereka bahkan kehilangan pemain terpenting mereka, Frank Arnessen, yang terkena kartu merah.

Tiga hari kemudian, tim yang sama dibantai 1-5 oleh Spanyol.

Secara statistik, tim itu tak ada apa-apanya dibanding tim yang mereka kalahkan di babak grup, Jerman Barat, yang kemudian muncul sebagai finalis –dan empat tahun kemudian menjadi juara dunia di Italia 1990. Bahkan, diukur dari capaiannya, itu bukan tim Denmark terbaik yang pernah ada. Mereka tak punya trofi sebagaiman­a tim Denmark (yang telah sama sekali berbeda) di Piala Eropa 1992. Tim ini juga tak melaju sejauh tim Denmark di Piala Dunia 1998. Tapi, merekalah Dinamit Denmark. Ya, Dinamit Denmark yang terkenal itu. Salah satu tim terbaik yang pernah ada dalam sejarah sepak bola.

Lewat buku Danish Dynamite: The Story of Football’s Greatest

Cult Team (2014),

Rob Smyth dkk mengantar kisah ini kepada kita dengan indah dan terkesan menggebu.

***

Saya memikirkan kalimat Sepp Piontek dan tim Dinamit Denmark-nya itu sepanjang menonton pertanding­an ”penentuan” grup G antara Belgia versus Inggris.

Itu adalah pertanding­an yang di atas kertas tampak paling menjanjika­n untuk menjadi pemungkas babak grup Piala Dunia 2018. Para pengamat, grafisgraf­is di koran, juga komentator­komentator di layar televisi membayangk­an tentang pertemuan familier tapi sengit pemain-pemain terbaik di Liga Inggris: dua bek Inggris, Walker dan Stone, akan bertemu sejawat Man City-nya, De Bruyne; adapun Kane akan bermuka-muka dengan dua bek Spurs, Alderweire­ld dan Vertongen; dan seterusnya. Dan, itulah kenapa sejak sebelum Piala Dunia mulai, saya menjanjika­n kepada kolom ini untuk menulis pertanding­an itu.

Tapi, kening saya dibuat berkerut bahkan sejak daftar pemain terpampang di layar: Inggris mengganti delapan pemainnya dari pertanding­an melawan Kosta Rika, sedangkan Belgia mengganti sembilan pemainnya. Sejak pagi, saya memang menemukan analisisan­alisis akal-akalan, mulai dari media-media Inggris sendiri, macam The Sun, hingga statusstat­us Facebook sok tahu sepak bola, bahwa Inggris mesti jadi nomor dua agar ada di jalur yang lebih empuk dan bisa melaju lebih jauh. Karena itu, saya tak terlalu kaget dengan daftar pemain yang dikeluarka­n baik oleh Southgate maupun Martinez. Tapi, mereka tak bisa mencegah pikiran buruk saya bekerja.

Tentu saja, tak ada yang terlanggar di sini. Tak ada satu pun aturan yang mereka tabrak. Mereka menurunkan pemain yang sah. Keduatim,misalnya,takmelakuk­an apa yang dilakukan Jerman (Barat) dan Austria pada Piala Dunia 1982. Dalam pertanding­an yang dikenang secara gelap sebagai Aib Gijon itu, kedua tim hanya saling mengoper bola sepanjang nyaris 80 menit, setelah keduanya samasama memastikan diri lolos dan sama-sama memastikan Aljazair tersingkir. Mereka saling menyerang, terlihat ingin menang.

*** Apabila tulisan ini terbaca nada moralisnya, mohon maaf. Percayalah, itu bias. Itu lebih karena saya bukan pendukung Inggris atau Belgia. Jika tim saya yang menghadapi pilihan seperti yang dihadapi Inggris, saya kira saya akan mendukung langkah mereka.

Bagaimanap­un, Inggris telah memilih (meskipun itu kelihatan bukan pilihan), dan dengan demikian mendapatka­n imbalan yang telah dibayangka­nnya: terhindar dari kemungkina­n ketemu Brasil pada babak 8 besar. Cuma, tampaknya mereka sedikit lupa memikirkan Kolombia. Jadi, semoga mereka beruntung.

Lalu, Piontek, Dinamit Denmark, dan ”jiwa sepak bola”-nya? Saya kira Southgate dan para pendukung Inggris tak perlu terlalu menghirauk­annya. Itu sudah lama berlalu. Lagi pula, apa yang bisa ditiru dari tim yang tak memperoleh apa-apa?

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia