MK Tolak Ojek Jadi Angkutan Umum
Pengemudi Terancam Tak Dapat Asuransi
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pengemudi ojek online yang ingin menjadikan ojek sebagai alat transportasi umum. Gugatan yang disampaikan perwakilan organisasi pengemudi, masyarakat, hingga buruh itu dianggap tidak beralasan menurut hukum.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menuturkan, beberapa kota luar negeri seperti Bangkok dan Beijing memang memasukkan sepeda motor sebagai kendaraan umum. Pengemudinya punya identitas khusus dengan area trayek di jalan kolektor atau penghubung serta ditentukan dengan ketat.
”Bangkok adalah kota yang dapat mengatur keberadaan ojek. Ojek dibolehkan beroperasi di jalan kolektor atau penghubung. Ada seragam berwarna oranye. Terdaftar dan diawasi pengoperasiannya. Di Beijing, Shanghai, dan kota-kota besar lain di Tiongkok juga terdapat ojek sepeda motor, tetapi tidak selaris di Indonesia,” ujar dia kemarin (29/6).
Dia menuturkan, memang pengemudi dan penumpang ojek pada akhirnya tidak mendapatkan perlindungan hukum seperti angkutan umum. Misalnya, saat kecelakaan, pengemudi dan penumpang ojek bisa saja tidak menerima asuransi. ”Sedangkan yang lain, hubungan tenaga kerja dan pola kerja sama,” imbuhnya.
Sebelumnya, Kamis (28/6), MK menjatuhkan putusan atas gugatan yang diajukan Tim Pembela Rakyat Pengguna Transportasi Online
atau Komite Aksi Transportasi Online (KATO). KATO mengajukan permohonan pengujian pasal 138 ayat (3) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang berbunyi, ”Angkutan umum orang dan/ atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum.” Mereka menilai, saat ini pasal tersebut tidak mengakomodasi jaminan konstitusional para pemohon, baik sebagai pengguna maupun pengendara ojek daring tersebut.
Namun, majelis hakim MK memutuskan bahwa pasal itu tidak bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Ketua MK Anwar Usman mengatakan bahwa ojek online tetap dapat berjalan meski tidak diatur dalam UU LLAJ. Menurut hakim, polemik ojek online itu bukan permasalahan konstitusional. ”Mahkamah tidak menutup mata akan adanya fenomena ojek. Namun, hal tersebut tidak ada hubungannya dengan aturan dalam UU LLAJ,” katanya.
Sebab, menurut dia, ketika aplikasi online jasa ojek belum tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu beleid tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah ojek pangkalan.
Mahkamah tidak menutup mata akan adanya fenomena ojek. Namun, hal tersebut tidak ada hubungannya dengan aturan dalam UU LLAJ.”
ANWAR USMAN Ketua MK