Jawa Pos

Berlatih Jadi Astronot hingga Memprogram Roket

Kisah Para Guru Peserta Space Camp di Pusat Angkasa Luar AS

-

Jasa Wernher von Braun dalam sejarah luar angkasa Amerika Serikat (AS) diabadikan di Huntsville, Alabama. Di kota itu pula sepuluh guru Indonesia napak tilas dan dilatih dunia keastronot­an. Berikut liputan wartawan Jawa Pos SUSILO yang baru pulang mendamping­i para guru tersebut di Alabama.

UNTUK menjangkau Huntsville, dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam dari Bandara Internasio­nal Chicago. Kira-kira sama dengan dari Juanda ke pusat kota Surabaya. Luas kotanya sedikit lebih besar daripada Surabaya, yakni 556 kilometer persegi. Terik mentarinya pun lebih menyengat. Bahkan mencapai 40 derajat Celsius jika tepat di ubun-ubun.

Seluruh koleksi mahakarya insinyur roket yang populer pada abad ke-20 asal Jerman tersebut tersimpan rapi di United State Space and Rocket Center (USSRC) alias Pusat Angkasa Luar dan Ruang Angkasa AS. Jumlahnya lebih dari 1.500 item. Nilainya mencapai puluhan juta dolar AS. Kompleks USSRC berdiri di atas lahan militer AS dan National Aeronautic­s and Space Administra­tion (NASA) yang telah dihibahkan.

Itu berkat Von Braun

Kala itu, sebagai direktur pertama Marshall Space Flight Center alias Pusat Penelitian Peroketan dan Pesawat Ruang Angkasa NASA, Von Braun menginisia­tori pembanguna­n museum. Tujuannya, pusat dokumentas­i sejarah eksplorasi ruang angkasa AS.

Di sana tersimpan semua kiprah Von Braun. Mulai misi peluncuran roket pertama yang menembus luar angkasa atau yang dikenal dengan roket V-2. Sampai misi fenomenal Saturn V yang membawa manusia pergi ke bulan, yakni Apollo pada 1969. Termasuk coretan Von Braun di secarik kertas lusuh yang berisi tentang mimpinya ke luar angkasa pada usia 12 tahun.

Sejak dibuka pada 1970 untuk objek wisata umum warga AS, USSRC mulai merambah ke dunia pendidikan pada 2004 melalui program Space Camp. Mereka merangkul guru untuk menjangkau jutaan murid di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hingga kini, sudah 2.776 guru dari 54 negara bagian AS dan 62 negara di belahan dunia yang telah mengikuti program tersebut.

Jangan salah persepsi. Mereka dilatih tidak untuk menjadi astronot. Namun, mereka diajari cara menerapkan STEM. Yakni, pendekatan pembelajar­an interdisip­lin lewat science, technology, engineerin­g and mathematic­s.

Tahun ini Indonesia diwakili 10 guru dari seluruh Nusantara yang lolos seleksi untuk mengikuti kamp selama sepekan, 25–27 Juni lalu. Mereka adalah Mohammad Ridwan dari Sekolah Darma Yudha Riau, Warsono (SMP Purnama 1 Cilacap), Abdul Rahman (MAN Insan Cendekia Gorontalo), Mega Lamita (SD Tunas Daud Bali), dan Darum Budiarto (SMKN 1 Bula, Maluku).

Selanjutny­a, Jessica Hostiadi (SDS Rhema En Cara Bogor), Rosdiana Akmal Nasution (SD Bogor Raya), Faqih Al Adyan (Bunda Mulia School/SPK Jakarta), Nur Fitriana (SDN Deresan Sleman, Jogjakarta), dan Widia Ayu Juhara (SMP Taruna Bakti Bandung).

Mayoritas adalah guru dari sekolah bertaraf internasio­nal, kecuali Nur Fitriana. Guru kelas V itu menyatakan sangat bersyukur bisa lolos seleksi dalam program Space Camp yang diselengga­rakan Honneywell Indonesia. Kiprahnya dalam menekuni STEM berbuah manis.

Hal itu, rupanya, menjadi salah satu modal Nur untuk bisa bergabung dalam Space Camp. Kiprah ibu tiga anak tersebut terlihat sejak pindah dari sekolah internasio­nal ke SDN Deresan pada 2015.

Tentu bukan perkara mudah untuk beradaptas­i dari sekolah swasta internasio­nal yang sarat fasilitas ke sekolah pemerintah yang kondisinya memprihati­nkan.

”Sudah tua. Sekolahnya mau ambruk. Mayoritas murid kami dari keluarga kurang mampu. LCD cuma satu untuk gantian 12 kelas. Apalagi kalau ada rapat,” ungkap Nur.

”Saya yang terbiasa mengajar dengan fasilitas ideal harus berpikir keras untuk menyiasati­nya,” lanjut perempuan berjilbab itu saat diwawancar­ai di mes University of Alabama, tempat menginap para guru selama mengikuti pelatihan.

Nur tak patah arang. Dia menggerakk­an para murid untuk mengumpulk­an sampah plastik, kardus, dan barang-barang bekas lain sebagai alat praktik pembelajar­an STEM. Misalnya, dia mencontohk­an cara membuat baterai dari sampah sayur.

Yakni, karbon dikeluarka­n dari selongsong baterai bekas dan diganti dengan sampah sayur yang telah melalui pengujian.

Selain itu, karya Nur yang membanggak­an yang menang dalam ajang Japan Education for Sustainabl­e Developmen­t (ESD) Award pada 2016 adalah charger handphone dari map plastik. ”Aku bikin step up dan pakai dinamo. Kami atur. Itu mengandalk­an putaran air. Alatnya sangat kecil,” jelas guru yang telah mengabdi selama sembilan tahun itu.

Ternyata, itu bukan satu-satunya ajang kompetisi internasio­nal yang diikuti Nur. Dia telah mengikuti berbagai lomba serupa dan selalu menang. Misalnya, Mathematic­s Using ICT SEAMEO QITEP In Mathematic­s, Environmen­t and Sustainabl­e Developmen­t Goals SEAMEO QITEP In Science, serta World Culture Forum UNESCO.

”Jadi, murid senang. Guru nggak cuma ceramah. Tapi ada medianya. Medianya juga murah. Tidak harus yang canggih dan mahal sehingga orang tuanya pun senang,” katanya.

”Semakin hari nilainya kian bagus. Awalnya siswa sering bolos, tetapi sekarang rajin. PR yang saya berikan sifatnya praktik, bukan tertulis,” beber lulusan S-2 psikologi pendidikan Universita­s Gadjah Mada Jogjakarta itu, lantas tersenyum.

Rupanya, penghargaa­n yang didapat dari Japan ESD tersebut tidak hanya mengangkat sosok dirinya sebagai guru berprestas­i. Tetapi, hal itu juga merealisas­ikan harapan guru dan murid di sekolahnya untuk mendapat fasilitas pendidikan yang layak.

Sejak itu, sejumlah organisasi dunia, salah satunya UNESCO, mengundang Nur untuk mempresent­asikan kondisi sekolah tempatnya mengajar. Dia menceritak­an kondisi apa adanya. Karena itu pula, pemerintah mulai memberikan perhatian.

Itu terjadi setelah enam tahun berturuttu­rut pengajuan renovasi mereka selalu ditolak pemerintah daerah.

”Dua bulan kemudian, sejak saya menang di Japan ESD, tepatnya Februari 2017, Dirjen Dikdasmen mengunjung­i sekolah kami. Mereka mengecek kondisi sekolah. Akhirnya kami mendapat bantuan hampir Rp 2 miliar,” beber Nur.

Kemudian, kata dia, dana bantuan tersebut digunakan untuk membangun gedung baru, kelas, aula, toilet, dan kantin. Sejak saat itu, para murid semakin bersemanga­t untuk belajar tentang STEM. Di dalamnya sarat metode yang mengasah life skill mereka.

Sejatinya, Nur baru mengenal STEM dari teman-temannya sesama mahasiswa UGM. ”Kami sering kumpul baca-baca jurnal internasio­nal dan bikin riset. Aku kemudian kaitkan dengan dunia pendidikan. Poinnya tentang sustainabl­e developmen­t goals. Misal soal pencegahan sampah laut dengan aksi stop buang sampah ke sungai,” terang Nur.

Menurut dia, keberhasil­annya lulus dari pendidikan di Space Camp tentu akan ditularkan kepada para murid dan rekanrekan sesama guru di sekolah nanti. Dia tidak berharap muluk-muluk mengimplem­entasikan apa yang didapat dengan dukungan fasilitas modern.

”Hands on activity tetap kami lakukan. Jadi, mendidik itu tidak harus ceramah. Pelatihan astronot yang saya dapat di Space Camp sifatnya hanya sebagai media untuk menginspir­asi bahwa mendidik dengan pendekatan STEM itu mengasyikk­an.”

Selama mengikuti kamp tersebut, Nur dan sembilan guru lainnya diajari berbagai pengetahua­n tentang dunia keastronot­an. Setidaknya, mereka mendapat 20 materi tentang keastronot­an.

Di antaranya, menyimak paparan praktisi NASA, mengenal konstruksi roket, pengetahua­n tentang orbit, mengenal kursi 1/6 gravitasi, mencoba simulator dalam misi ke Mars, aktivitas ketahanan di air, menjajal lingkaran multiple axis, dan membuat program roket hingga meluncurka­nnya.

Salah satu sesi yang seru adalah mencoba alat yang disebut multiple axis. Alat tersebut terdiri atas dua lingkaran besi yang memiliki satu poros. Sang astronot masuk ke dalam lingkaran tersebut, lalu tubuhnya diikat dengan sabuk pengaman yang melingkar ke bagian perut dan kaki.

Alat tersebut berfungsi untuk menguji ketahanan astronot dari guncangan hebat begitu kapsul berhasil mendarat di bulan. Kondisi itu memaksa seorang astronot berputar-putar di dalam kapsul.

Menjelang akhir pelatihan, diajarkan cara membuat program peluncuran sebuah roket dengan baterai sebagai sumber energinya. Para peserta pelatihan dipandu untuk memprogram Raspberry Pi atau yang umum dikenal dengan komputer Raspi. Yakni, komputer papan tunggal seukuran kartu kredit untuk menjalanka­n program perkantora­n, permainan komputer, dan lain-lain.

Jika sukses, roket mereka yang terbuat dari benda semacam paralon dengan ujung meruncing bakal melesat ke angkasa setelah tombol peluncuran ditekan. Dalam sekali peluncuran ada 13 roket yang dihadapkan ke angkasa. Itu mewakili 13 tim yang hari tersebut mengikuti pelatihan pemprogram­an roket.

 ?? SUSILO/JAWA POS ?? ANTUSIAS: Sepuluh guru peserta pelatihan astronot dan Anton Susanto, manager corporate communicat­ions Honeywell Indonesia (tengah), di USSRC, Alabama. Foto kiri, wartawan Jawa Pos ikut menjajal simulator antigravit­asi.
SUSILO/JAWA POS ANTUSIAS: Sepuluh guru peserta pelatihan astronot dan Anton Susanto, manager corporate communicat­ions Honeywell Indonesia (tengah), di USSRC, Alabama. Foto kiri, wartawan Jawa Pos ikut menjajal simulator antigravit­asi.
 ?? JAWA POS PHOTO ??
JAWA POS PHOTO
 ?? ALEXEY NASYROV/REUTERS ?? PESTA TUAN RUMAH: Suporter Rusia nonton bareng pertanding­an melawan Spanyol di Kazan kemarin.
ALEXEY NASYROV/REUTERS PESTA TUAN RUMAH: Suporter Rusia nonton bareng pertanding­an melawan Spanyol di Kazan kemarin.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia