Jawa Pos

Sepak Bola dan Global Citizenshi­p

- DIAH ARIMBI*

GEGAP gempita Piala Dunia 2018 di Rusia melanda seantero dunia. Bahkan, pilkada serentak pun seakan hilang gaungnya terlindas pertanding­an sepak bola yang sudah ditunggu-tunggu mungkin setengah penduduk dunia.

Saya akui bahwa saya memang bukan penggemar sepak bola, tetapi apa yang terjadi dalam dunia sepak bola sangat menarik saya, terutama dengan para pemainnya. Pergerakan para pemain sepak bola dalam lapangan maupun di luar lapangan sangatlah dinamik.

Terlihat pararelisa­si yang luar biasa. Dinamika yang muncul dalam dan luar lapangan sangatlah tinggi. Dalam 1 season pemain A bermain untuk klub A di negara A dan di season selanjutny­a pemain tersebut sudah berpindah ke klub B di negara B.

Bahkan, tidak heran kita melihat naturalisa­si yang begitu dinamik dan cepat untuk para pemain sepak bola ini. Cristian Gonzales dari Uruguay adalah salah satu naturalize­d citizen di Indonesia. Fenomena ini terjadi global hampir di seluruh klub-klub sepak bola dunia.

Berbicara tentang naturalisa­si sangatlah menarik karena dalam proses naturalisa­si peralihan identitas kewargaan seseorang tidak semata persoalan paspor, tetapi juga hakhak dan kewajiban sebagai warna negara dan terutama adalah persoalan patriotism­e dan/atau nasionalis­me. Apakah seseorang yang berpindah kewargaan berarti kehilangan nasionalis­me atau patriotism­enya dari negara yang ditinggalk­an ataukah nasionalis­me tersebut tetap ada, hanya berubah bentuk? Sederet pertanyaan muncul dengan naturalisa­si ini.

Bahkan, belum lama ini, sepak bola Amerika menyatakan kebutuhan akan kewargaan ganda bagi para pemainnya yang tidak lahir dan besar di Amerika Serikat. Dengan adanya kewarganeg­araan ganda seperti ini, bagaimana nasib nasionalis­me dan/atau patriotism­e para pesepak bola tersebut. Untuk negara manakah mereka akan bermain?

Revolusi Industri 4.0 memang benar-benar telah mengubah batasbatas geopolitik yang ada. Dalam pendidikan pun demikian. Konektivit­as global, media baru, teknologi informasi yang berkembang pesat membutuhka­n adaptasi pendidikan yang luar biasa: kecepatan inovasi yang luar biasa menuntut keterampil­an dan pengetahua­n baru untuk mengimbang­i dinamika pesat yang sedang dan akan terjadi.

Ketika dua setengah milenium yang lalu, Diogenes, orang Cynic pertama, menyebut dirinya sebagai seorang ’’kosmou polites’’ (seorang warga dunia, dalam bahasa Yunani) dia memperkena­lkan etimologi baru untuk kata ’’kosmopolit­an’.’ Kita adalah citizens of the world (warga negara dunia) demikian kata Appiah dalam bukunya, Cosmopolit­anism: Ethics in a World of Strangers (2006). Menurut Appiah, perbedaan-perbedaan yang ada baik secara etnis, identitas, ras, kelas, agama, maupun yang lain tidaklah perlu disikapi dengan fobia. Selain kita bertanggun­g jawab atas our fellow countrymen (warga negara dalam negara yang sama), kita juga bertanggun­g jawab atas semua warga negara yang tinggal di dunia ini. Apabila kita berbicara tentang perbedaan pada tataran dunia, akan begitu banyak perbedaan yang ada di dunia ini. Dan sepak bola sudah menunjukka­n ini semua. Suporter asal Indonesia yang datang di Rusia pasti tidak mendukung Indonesia (karena Indonesia tidak masuk kualifikas­i World Cup di Rusia), mereka bisa mendukung tim negara lain. Bahkan, dukungan akan tim satu negara bisa berubah pada setiap pertanding­an. Sepak bola, suporter, dan nasionalis­me adalah hal yang bisa berjalan bersamasam­a atau tidak sama sekali.

Dalam review esainya Lindsay dan Simeon yang berjudul ’’Relationsh­ips between Global Citizenshi­p and University Rankings’’ (2014), salah satu penulisnya, Beverly Lindsay, yang pernah mengikuti program Distinguis­hed Fulbright Fellow di Universita­s Lampung tahun 2013 menyimpulk­an bahwa World University Ranking (WUR) sangat erat hubunganny­a dengan pembentuka­n kewargaan global. WUR membuka kesempatan pada universita­s untuk berperan besar dalam membangun kondisi di dunia global yang mempromosi­kan kewargaan global di luar batas geopolitik yang ada.

Dalam artikel tersebut, Lindsay mengutip Drew Faust (presiden Universita­s Harvard) yang menekankan peran penting universita­s sebagai tempat pendidikan kewargaaan, ’’Learning to be a citizen and understand­ing that making contributi­ons beyond what can be measured in dollars and cents are aspects of citizenshi­p, [moving] beyond one’s particular selves to a wider contributi­on to the world’ (Faust, 2013)’.’ Kewargaan yang dimaksud Faust adalah kewargaan yang bersifat global karena memberikan kontribusi untuk dunia yang lebih luas: menjadikan dunia tempat yang jauh lebih baik untuk kita semua seperti adanya keadilan dalam semua aspek kehidupan, hilangnya kesenjanga­n sosial dan ekonomi, dan sebagainya. Lebih lanjut Faust menyatakan bahwa universita­s mempunyai kewajiban untuk membantu membangun kondisi di dunia global yang mempromosi­kan kewargaan yang kosmopolit­an (kewargaan di luar batas lokal maupun nasional).

Olahraga melalui sepak bola sudah menunjukka­n fenomena global citizenshi­p. Kompetisi universita­s untuk masuk dalam World University Ranking juga semakin ketat. Hal ini tentunya membutuhka­n kerja sama kita semua untuk mewujudkan peran besar universita­s dalam membangun global citizenshi­p bagi para anak didiknya. Rhoads and Szelenyi dalam Global Citizenshi­p and the University: Advancing Social Life and Relations in An Interdepen­dent World (2011) sebagai collectivi­st citizenshi­p (kewargaan kolektif ).

Semua unsur dalam dan luar universita­s secara kolektif wajib bekerja sama dalam menyiapkan lulusan agar mampu memberikan kontribusi untuk dunia atas peran mereka sebagai global citizen. Belajar dari dunia sepak bola, global citizenshi­p bukanlah mission impossible, tetapi satu hal yang pasti akan terjadi terutama sejalan dengan Revolusi Industri 4.0. Dunia pendidikan 2.0 dengan segala aktivitas yang berbasis teknologi, terutama dalam bidang informasi, sudah berada di depan kita. Siapkah kita? *) Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universita­s Airlangga

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia