Sensitivitas Rupiah
Nilai tukar rupiah seolah tiada henti bergolak. Superioritas dolar Amerika Serikat (USD) yang meninggi terhadap mata uang global kian meninggi terhadap rupiah. Akibatnya, nilai tukar rupiah pun terus terdepresiasi dan menjadi salah satu valuta yang mengalami pelemahan paling parah terhadap USD. Sejak awal tahun hingga akhir Juni (year to date), rupiah melemah 5,7 persen.
Di antara mata uang utama ASEAN, hanya peso Filipina yang depresiasinya lebih parah jika dibandingkan dengan rupiah, sampai 7,0 persen. Selain itu, dolar Singapura dan baht Thailand hanya melemah di kisaran 1 persen. Menariknya, ringgit Malaysia menjadi satusatunya mata uang yang justru menguat terhadap USD meski hanya 0,2 persen.
Dari situlah muncul berbagai analisis. Pengaruh faktor eksternal terhadap pergerakan USD memang ada. Kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) yang cenderung menaikkan suku bunga acuan serta meruncingnya perang dagang antara AS dan Tiongkok menjadi pemicu geliat USD.
Semua negara pun merasakan dampaknya. Namun, pengaruhnya terhadap nilai tukar mata uang pun berbeda-beda. Bergantung ketahanan fundamental ekonomi masing-masing negara. Fakta bahwa rupiah masuk kategori mata uang yang mengalami pelemahan paling parah memberikan gambaran bahwa postur dan kekuatan ekonomi Indonesia saat ini memang kurang kuat.
Analisis paling sederhana, lihat saja neraca dagang Indonesia terus didera defisit. Artinya, impor barang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekspor. Jika dibedah lagi, kita bisa melihat bahwa ternyata ada cukup besar porsi produk impor itu adalah barang konsumsi.
Sementara itu, ekspor kita masih didominasi komoditas primer dengan nilai tambah kecil seperti crude palm oil (CPO) dan batu bara yang harganya fluktuatif. Akibatnya, sumber pasokan devisa kita lebih rentan.
Karena itu, satu-satunya jalan untuk memperbaiki daya tahan rupiah adalah memperbaiki struktur ekonomi. Itu bisa dimulai dengan menggenjot produksi pangan di dalam negeri agar kita tak terus bergantung pada produk impor.
Langkah Bank Indonesia (BI) mengerek BI Rate memang bisa menjadi pereda sementara atas tekanan rupiah. Tapi, tanpa perbaikan struktural ekonomi seperti peningkatan kuantitas dan kualitas produk dalam negeri, kenaikan BI Rate itu justru bisa memberi tekanan lebih besar pada ekonomi nasional.
Rupiah harus dikawal. Sebab, dampaknya besar. Bagi APBN tahun ini, pelemahan rupiah memang positif.