Belum Tentu Dongkrak Kredit
Beli Rumah tanpa DP Bergantung Daya Beli
JAKARTA – Pembebasan kebijakan uang muka kredit pemilikan rumah (KPR) memang bisa mengompensasi beratnya beban kenaikan suku bunga. Namun, beleid itu belum tentu dapat mendongkrak pertumbuhan kredit. Daya beli konsumen tetap menjadi faktor penggerak utama.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan, dengan kemungkinan mendapat down payment (DP) murah, cicilan bulanan bakal lebih besar. Tingkat risiko juga cenderung meningkat karena besarnya cicilan tidak disertai naiknya pendapatan debitor. ’’Menurut saya, efek pelonggaran LTV (loan to value) ini masih jangka menengah. Ada kenaikan kredit KPR, khususnya rumah pertama, tapi tidak akan terlalu tinggi,’’ jelasnya kemarin (1/7).
Dia memproyeksikan pertumbuhan kredit tahun ini berada di kisaran 9 persen. Angka itu masih lebih rendah daripada proyeksi 10–12 persen yang dicanangkan Bank Indonesia (BI).
Bhima menyatakan, seharusnya fokus BI maupun pemerintah adalah memperbaiki daya beli yang masih stagnan, bahkan cenderung menurun. Selain itu, kepercayaan pelaku usaha harus dipulihkan. Dia mencontohkan, terkait dengan pajak, diperlukan relaksasi di beberapa sektor padat karya seperti makanan dan minuman, tekstil, serta alas kaki. Misalnya, penurunan tarif PPh badan dan PPN.
’’Jadi, pelaku usaha dengan rupiah yang lemah dan bunga pinjaman yang mahal tidak langsung naikkan harga jual barangnya. Karena menaikkan harga jual bisa menjadi inflasi yang ditransmisikan ke konsumen,’’ terangnya.
Sementara itu, perbankan masih cukup berhati-hati dalam menyikapi pelonggaran LTV. Bank tidak serta-merta menerapkan DP 0 persen untuk pembiayaan properti.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengakui, kebijakan tersebut cukup baik karena bank bisa menyesuaikan dengan pertimbangan masing-masing dalam memberikan kredit properti. Namun, Jahja mengungkapkan bahwa pemberian fasilitas DP 0 persen bergantung pada risiko kredit nasabah. Pertimbangan lainnya adalah lokasi dan kecukupan cash flow. ’’Supaya jumlah kredit meningkat dengan risiko tetap terjaga,’’ kata Jahja kepada
Jawa Pos kemarin.
Jahja menjelaskan, pelonggaran itu membuat bank berwenang melakukan penilaian berdasar banyak kriteria dan saat yang tepat. ’’Kalau belum bisa kan
tidak harus 0 persen. Kalau suku bunga tinggi, bergantung yang mau ambil KPR mampu atau tidak,’’ ujar Jahja.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (Persero) Maryono mengungkapkan, untuk mengimbangi kebijakan kenaikan bunga, BI memberikan dua policy. Yakni, kelonggaran likuiditas dan pemberian kredit. ’’Diharapkan, kredit tidak bakal turun dengan kenaikan bunga acuan,’’ tuturnya kepada Jawa Pos kemarin.
Mengenai pemberian fasilitas DP 0 persen, Maryono beranggapan bahwa kebijakan tersebut diserahkan sepenuhnya pada bank. ’’Bank itu boleh saja mau 0 persen, 5 persen, 10 persen. Urusan bank,’’ tegasnya.
Maryono menambahkan, BTN sudah punya program KPR subsidi 1 persen. ’’Seyogianya kami 1 persen saja. Enggak nol-nol banget, masak mau kredit 0 persen. Kesannya, tanggung jawabnya kurang mengikat gitu lho,’’ ujar Maryono.
Dalam aturan BI, tidak semua bank diperbolehkan menawarkan uang muka atau down payment
(DP) 0 persen. Pelonggaran hanya berlaku untuk bank dengan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL)
net di bawah 5 persen. Khusus untuk KPR, NPL gross-nya juga mesti kurang dari 5 persen.(ken/