Berkah dan Kutukan Generasi Emas Belgia
GENERASI emas tidak lahir setiap saat. Eden Hazard tak memintadilahirkanberdekatan dan hidup sezaman dengan Kevin de Bruyne atau Thibaut Courtois. Generasi itu juga tak turun dari langit begitu saja.
Kekayaan hasil rampasan kolonial memampukan Belgia untuk membangun infrastruktur olahraga yang memadai. Prinsip negara sejahtera (welfare state) memberi kesempatan bagi orang tua yang beruntung untuk mengasah talenta anak-anaknya.
Posisi geografis juga berkontribusi. Terletak di jantung Eropa, Belgia selama berabadabad menjadi perlintasan barang, jasa, serta manusia. Kota terpentingnya, Brussel, kini menjadi ibu kota Eropa. Ini menjadikan Belgia sebagai negara multikultural, kosmopolitan, dan tidak canggung menghadapi dunia.
Sepak bola mengambil keuntungan dari situasi ini. Meskipun tidak dikenal memiliki kompetisi terbaik, negara ini dikelilingi oleh raksasa sepak bola Eropa. Klub-klub Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis selalu mengirim pemandu bakat ke lapangan-lapangan di Antwerp atau Liege untuk mencari berlian mentah yang belum diasah.
Kosmopolitanisme mendorong anak-anak muda Belgia tidak canggung meninggalkan kampung halaman dan menjadi bagian dari akademi sepak bola internasional. Jan Vertonghen dan Toby Alderweireld dididik di Ajax,Belanda.Hazardbersaudara mengasah talentanya di akademi Lille, Prancis. Kini, dari 23 pemain, hanya Leander Dendoncker yang bermain di kampung halamannya.
Generasi emas Belgia juga mendapat keuntungan dari warisan pascakolonialnya. Tanpa Afrika, Belgia tidak akan memiliki Romelu Lukaku atau Vincent Kompany. Tanpa pekerja murah dari negara Maghribi, Belgia belum tentu bisa mendapatkan Nacer Chadli atau Marouane Fellaini.
Kombinasi bakat dan posisi geografi ini membuat Belgia punya bahan-bahan terbaik untuk membentuk tim juara. Afrika memberi fisik yang kuat dan kecepatan. Sementara itu, Eropa memberiteknikdankedisiplinan taktik. Keduanya ibarat kakao hitam dan susu putih, dua bahan yang menghasilkan cokelat Belgia terbaik.
**** Hanya, punya generasi emas tidak menjamin kesuksesan. Sebagaimana yang ditunjukkan Inggris (2002, 2006), Argentina (2010, 2014), atau Brasil (1982), generasi emas justru berakhir menyedihkan.
Salah satu masalah dari generasi emas adalah ego besar dan kepribadian yang eksentrik. Kepala batu melekat atau mengikuti bakat. Sudah jadi cerita umum bahwa generasi emas dipenuhi egoisme dan kecemburuan. Ekspektasi membuat ego tersulut menjadi pertengkaran. Alih-alih juara, generasi emas biasanya berangkat jadi kuda hitam pulang jadi kambing hitam.
Belgia mengalami hal ini sebelumnya. Tiga puluh dua tahun lalu, Belgia punya Eric Gerets, Jean-Marie Pfaff, dan Enzo Scifo muda. Mereka dianggap sebagai generasi emas Belgia pertama. Setelah melaju ke semifinal di Meksiko, mereka digadanggadang bisa menjadi tim kejutan di turnamen berikutnya. Tak disangka, tim itu tak bisa menghidupi tekanan dan harapan. Gagal lolos ke Piala Eropa di Jerman, mereka hanya maju ke babak kedua di Italia. Keberhasilan masuk semifinal itu justru puncak pencapaiannya.
Dua tahun lalu, kutukan itu belum sirna. Masih segar dalam
DARMANTO
ingatan Belgia adalah kandidat juara Piala Eropa. Namun, generasi emas kedua itu dikandaskan oleh Wales, negara yang bakat terbaiknya bermain rugbi, dengan cara yang memalukan.
De Bruyne, yang gusar dengan perkembangan tim dan tidak puas dengan taktik pelatih, membuat protes terbuka. Dia menyalahkan pelatih dan juga teman-temannya, terutama di bek sayap, yang tidak disiplin menekan lawan. Kritikan-kritikan macam itu bisa jadi bara sekam yang mengubah emas menjadi loyang.
***** Roberto Martinez paham batas antara berkah dan kutukan. Dia menyebut dua hal yang dibutuhkan oleh Belgia untuk menyeberanginya. Pertama adalah visi yang jelas dan struktur tim yang solid. Untuk itu, dia memilih Spanyol sebagai model.
Spanyol meracik tim yang sesuai dengan kekuatan materinya. Dengan skema 4-5-1, Spanyol memberi keleluasaan bagi gelandang-gelandang mungil untuk bermain dengan umpan pendek. Untuk itu harus ada yang dikorbankan: Raul Gonzales. Namun, risiko itu, kita tahu, sepadan.
Skema 3-4-3 Martinez dirancanguntukmengakomodasi dua kekuatan utama. Dengan skema itu, Hazard dan De Bruyne tidak saling berebut ruang dan bisa mengombinasikan bakat dan egonya. Radja Nainggolan harus membayar mahal pilihan ini.
Ketiadaan Radja Nainggolan membuat De Bruyne berevolusi sebagai playmaker yang bergerak dari dalam. Ini membuka ruang pergerakan dan kreativitas Hazard. Taktik itu juga membuat pemain lain lebih baik. Lukaku tampak lebih tajam. Bahkan, Fellaini pun terlihat jadi pemain yang bisa bermain bola dengan kaki.
Yang kedua, Martinez belajar untuk tidak menyenangkan semua orang. Dia bicara tentang aspek emosi Piala Dunia. ’’Bakat terbaik tidak akan memenangkan apa-apa,’’ kata Martinez sebelum laga pertama. Dia menuntut pemainnya rela berkorban dan siap menderita. Baginya, talenta dan taktik tak lebih penting dari kemauan bersolidaritas.
Kini, Belgia tampaknya sudah belajar dan siap menjadi kuda hitam betulan. Kalau ada sedikit masalah, itu ada di sektor bek sayap kiri. Carrasco bukanlah bek sayap yang biasa melebar untuk membuka ruang bagi Hazard atau Dries Mertens masuk ke dalam area berbahaya. Secara alamiah, dia juga bukan pemain bertahan. Selain itu, lini belakang relatif rentan. Dedryck Boyata bukan pemain yang jelek. Namun, dia masih kurang pengalaman dan sering membuat kesalahan.
Kelemahan itu tak mengurangi peluang Belgia. Apabila pemain berbakat Belgia menyadari kelemahannya, menanggalkan ego dan saling berkorban (seperti Edinson Cavani atau Luis Suarez melakukannya untuk Uruguay), Belgia bisa mengubah kutukan generasi emas itu menjadi kejayaan. 2 JULI