Iming-Iming Harga Murah Tanah Kavling
Pengamat Sebut Masyarakat Harus Paham Aturan
SURABAYA – Penjualan tanah kavling masih marak di kawasan timur Surabaya. Promosi pun gencar dilakukan. Baik oleh perorangan maupun pengembang. Meskipun sudah banyak merugikan masyarakat, iming-iming harga murah menjadi alasan masyarakat masih saja membeli.
Penjualan tanah secara kavling jelas melanggar peraturan perundang-undangan. Hal itu tercantum di UU 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kebijakan tersebut mengatur penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
Peraturan itu tercantum di pasal 146. Disebutkan, badan hukum yang membangun lingkungan siap bangun (lisiba) dilarang menjual kavling tanah tanpa bangunan. Pelarangan tersebut bertujuan menghindari perencanaan yang tidak sesuai dengan yang diajukan pengembang.
Sebab, pengembang memiliki kewajiban untuk membangun sebagian lahan untuk fasilitas umum (fasum). Fasum itu harus sesuai dengan ketentuan Pemkot Surabaya.
Tanah kavlingan memang dijual lebih miring. Tidak heran jika lebih cepat laku. Banyak masyarakat yang mengincar tanah tersebut tanpa tahu konsekuensinya. Salah satunya, keabsahan bukti kepemilikan hingga penipuan.
M. Agus Hariyanto adalah warga yang pernah bermasalah dengan kasus seperti itu. ’’Penjual kavling sempat menghilang saat diminta mengurus surat. Kemudian, saya mendapatkan bantuan dari pihak kelurahan,’’ katanya.
Agus pun mendapatkan surat petok D. Lalu, melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL), sertifikat hak milik bisa diterbitkan. ’’Saya dulu beli tidak sampai Rp 150 juta, ukurannya 7 x 15 meter. Lebih murah daripada tempat lain,’’ ujar salah seorang pembeli tanah di kawasan Medokan Ayu.
Sebenarnya penjualan secara kavlingan tidak dilarang sepenuhnya. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi pengembang. Tujuannya, menghindari penjual tanah yang kabur begitu saja sesudah tanah habis terjual.
Pengembang boleh menjual kavlingan asalkan 25 persen dari total kavling sudah berupa bangunan. Sementara itu, bagi perorangan hanya bisa menjual tidak lebih dari lima kavling.
Pakar Hukum Pertanahan Universitas Airlangga (Unair) Agus Sekarmaji menyatakan, permasalahan sebenarnya terletak di masyarakat. Masih banyak yang belum paham soal aturan tanah kavling. Begitu juga dengan para pengembang. ’’Padahal, bisa saja mereka terkenan sanksi pidana,’’ ucapnya.
Menurut dia, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat. Dia menjelaskan, dari sisi pemerintah, langkah pencegahan yang dilakukan sudah bagus. ’’Nah, sekarang masyarakat harus paham agar tidak mudah membeli
tanah,’’ katanya.