Sisipkan Karya-Karya Pramoedya saat Mengajar
Soe Tjen Marching, Mengenalkan Sastra Indonesia di London
Soe Tjen Marching sangat mencintai sastra Indonesia. Menetap di London, dia menjadi pengajar bahasa Indonesia dasar. Berharap usahanya menjadi pembuka agar orang yang diajari memiliki ketertarikan yang sama dengannya.
MOCHAMAD SALSABYL ADN
JIKA dihitung, mungkin kata Pram yang keluar dari mulut Soe Tjen Marching saat berbincang pada Selasa (3/7) bisa lebih dari 100 kali. Hal tersebut menjadi bukti bagaimana perempuan kelahiran Surabaya pada 1971 itu sangat mengagumi penulis Pramoedya Ananta Toer.
Dia masih ingat betul sensasi tangannya yang gemetar saat membaca novel Gadis Pantai di kamarnya ketika masih kelas III SMA. Soe Tjen takut ada yang tahu bahwa dirinya tengah membaca buku yang sempat dilarang pemerintah itu. ’’Tahun 1989 rasanya nggak akan ada yang tahu kita baca apa di kamar. Tapi, saya gemetar juga,’’ ungkapnya ketika ditemui di rumah orang tuanya di Jalan Putro Agung II, Kecamatan Tambaksari, saat mudik ke Surabaya.
Karena novel itu pula, dia yang awalnya merasa matematika bakal jadi fondasi masa depannya beralih ke sastra dan politik. Hingga dia memutuskan mengambil sastra Inggris di UK Petra Surabaya
Tiga puluh tahun kemudian, dia terus menunjukkan kepeduliannya pada tema sosial dan politik. Namanya kini dikenal sebagai salah satu aktivis penyuara kesetaraan ras, agama, hingga gender.
Karya desertasinya saat mengejar gelar PhD di Monash University, Australia, yakni The Discrepancy Between the Public and Private Selves of Indonesian Women, dijadikan buku berjudul Kisah di Balik Pintu di Indonesia. Buku itu bercerita tentang perbedaan perlakuan yang diterima perempuan di Indonesia dalam berbagai lini.
Sejak September 2004, Soe Tjen tinggal di London, Inggris, untuk mengikuti sang suami, Angus Nicholls, yang menjadi dosen sastra Jerman di Queen Marry University. Di sana, Soe Tjen terpanggil untuk mengenalkan budaya Indonesia. Dia melamar menjadi dosen di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Diterima pada 2005 sebagai pengajar tamu, Soe Tjen diminta membagikan ilmu tentang sastra Indonesia. ’’Sepengetahuan saya, hanya Belanda dan Jerman yang menyediakan pelajaran bahasa Indonesia. Kalau di Inggris, hanya saya yang bisa mengajarkan,’’ jelas penulis buku Kubunuh di Sini itu.
Sayangnya, hingga kini belum ada yang tertarik untuk belajar sastra Indonesia. Setiap semester muridnya 20–30 siswa. Tergolong sedikit dibandingkan saat dia menjadi pengajar sastra Indonesia di Melbourne awal 2000 yang mencapai ratusan. ’’Di London, saya ngajar bahasa Indonesia untuk mahasiswa yang berminat. Ada yang masih 18 tahun. Ada pula yang sudah 60 tahun,’’ ungkapnya.
Alasan mahasiswa memasukkan bahasa Indonesia pada rencana kuliah mereka bermacam-macam. Ada yang tertarik karena pernah berlibur ke Bali. Ada juga yang masuk kelas Soe Tjen karena pengalamannya berbincang dengan TKI di Hongkong. ’’Semua baru belajar bahasa Indonesia dasar. Belum ada yang mau mempelajari sastranya,’’ ungkapnya.
Meski begitu, Soe Tjen tidak kehilangan cara. Perempuan yang sejak 2016 menjadi dosen tetap di SOAS tersebut tidak pernah lupa menyelipkan produk sastra di setiap pelajaran. Favoritnya karya-karya Idolanya: Pramoedya Ananta Toer. Namun, ada juga dari penulis lainnya.
Dia juga diminta melatih bahasa calon Dubes Inggris untuk Indonesia. Saat itu juga dia lagi-lagi mengenalkan karya Pram. ’’Saya mengajar mantan Dubes Inggris Martin Hatfull. Bahkan, Pak Moazzam Malik (duta besar Inggris saat ini, Red) juga saya minta baca Tetralogi Bumi Manusia,’’ jelasnya.
Hingga kini, dia mengatakan masih belum ada hasil yang ideal dari usahanya. Namun, dia tidak menyerah. Menurut dia, karya sastra Indonesia tidak kalah bagus dengan karya sastra Asia lainnya. ’’Masalahnya, orang Indonesia saja yang sering minder sendiri. Kita merasa budaya kita lebih jelek dari budaya barat. Padahal, itu hanya berbeda, bukan kalah,’’ jelasnya.