PPh Final UMKM Berlaku 1 Agustus
Penyesuaian Tarif Bersifat Otomatis
JAKARTA – Pemerintah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Harapannya, kepatuhan pelaku usaha bisa meningkat. Kebijakan itu mulai efektif setelah masa peredaran bruto UMKM pada Juli.
Jadi, terhitung 1 Agustus tarif baru tersebut berlaku. Aturan terkait dengan tarif baru itu termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang mengatur pengenaan pajak penghasilan final bagi wajib pajak (WP) yang peredaran bruto (omzet) sampai Rp 4,8 miliar dalam setahun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama memaparkan, bagi WP yang selama ini sudah membayar PPh final berdasar PP Nomor 46 Tahun 2013 (sebelum PP Nomor 23 Tahun 2018), untuk peredaran bruto (omzet) sampai Juni 2018, pihaknya masih menerapkan tarif 1 persen. Jadi, PPh final untuk masa pajak Juni 2018 yang disetor pada Juli masih dihitung dengan tarif 1 persen dikalikan omzet Juni 2018. ’’Untuk peredaran bruto Juli 2018 yang pajaknya nanti disetor pada Agustus 2018 sudah menggunakan tarif 0,5 persen dikalikan omzet Juli 2018,’’ jelas Yoga.
Dia menyatakan, penyesuaian tarif itu otomatis. Tidak perlu persetujuan, pemberitahuan, atau surat apa pun dari kantor pelayanan pajak (KPP) pratama tempat WP tersebut terdaftar. Penyesuaian tarif itu juga tidak perlu menunggu petunjuk teknis yang akan dimuat dalam aturan turunan PP Nomor 23 Tahun 2018 berupa peraturan menteri keuangan (PMK). ’’PMK bakal terbit dalam beberapa hari ini. Itu (penyesuaian tarif ) juga tidak perlu menunggu juknis (PMK) dari PP Nomor 23 Tahun 2018 ini,’’ katanya.
WP UMKM yang baru mendaftar sekarang, yakni Juli 2018 dan setelahnya, bisa langsung dikenai tarif 0,5 persen untuk omzetnya. Persetujuan dari KPP juga tidak diperlukan. ’’Itu juga otomatis saja. Tidak perlu persetujuan dari KPP,’’ ujarnya.
Di sisi lain, kebijakan baru itu ternyata belum sepenuhnya direspons positif oleh pelaku UMKM. Menurut Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun, pemangkasan tarif pajak UMKM tersebut seharusnya bisa sampai 0 persen alias dibebaskan dari pajak. Sekalipun tarifnya diturunkan, para pelaku UMKM tetap harus mengeluarkan biaya serta direpotkan dengan adanya laporan pembukuan. Dia mengacu pada negara-negara yang membebaskan pajak bagi pelaku UMKM.
’’Penurunan ini tidak menggembirakan bagi UMKM karena tetap harus keluar biaya. Boro-boro laporan pembukuan untuk usaha mikro dan kecil, syukur jika punya pencatatan,’’ tuturnya.
Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menilai, masih banyak pelaku UMKM yang belum paham sepenuhnya aturan baru tersebut. Banyak yang salah paham dengan PP Nomor 23 Tahun 2018. Kewajiban pembukuan itu baru dilaksanakan setelah empat tahun untuk WP badan dan tujuh tahun untuk WP orang pribadi (OP). ’’Banyak yang salah paham. Wajib pembukuan itu nanti kalau sudah 7 tahun (WP OP),’’ terangnya. ’’Justru dengan grace period ini, UMKM ini harus diajak optimistis,’’ tegas Prastowo.