Buka Pikiran Pemudanya untuk Melawan Mitos
Tiga Mahasiswa Unair Lakukan Penelitian Dua Desa di Ponorogo
Rasa penasaran ingin berbagi ilmu dan pengalaman mendorong ketiga mahasiswa Universitas Airlangga menjadi peneliti di bidang sosial dan kebudayaan. Mereka mendalami budaya yang memisahkan adat dua desa.
CHRISTIAN DENNY M., Surabaya
SUASANA Rektorat Kampus C Universitas Airlangga, Surabaya, ramai pada Kamis (28/6). Itu terjadi karena para mahasiswa baru saja memaparkan hasil penelitian yang dilakukan di hadapan para dosen.
Di antara beberapa penelitian, apa yang dilakukan Muhammad Afif Ma’ruf, Rerica Dhea Shafila,dan Aisyah Nusa Ramadhana menarik perhatian. Ketiganya meneliti dua desa di Kabupaten Ponorogo, Golan dan Mirah.
Rencana penelitian mereka diterima dan akan dibiayai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Penelitiannya memakan waktu tiga bulan.
Di antara ketiganya, Aisyah merupakan mahasiswa paling senior. Dia yang duduk di semester kelima jurusan administrasi negara memang telah terjun lebih dulu dalam dunia tulis menulis ilmiah. Aisyah sempat menjadi juara tingkat nasional dalam ajang kompetisi ilmiah. Dengan berbekal itu, dia memberanikan diri untuk sharing dengan Afif dan Rereica yang masih semester ketiga.
Dia penasaran dengan Desa Golan dan Mirah. Aisyah ingin mencari ketangguhan dari dua desa tersebut.
Menurut dia, ada mitos yang berkembang dalam masyarakat dua desa tersebut. Aisyah menjelaskan bahwa dua desa itu tidak bisa bersatu dalam bidang tertentu. Terutama yang berkaitan dengan budaya dan kegiatan.
’’Kalau disatukan, dampaknya akan terkena bencana hingga ancaman kematian. Kata para tetuanya seperti itu,’’ imbuh perempuan 21 itu.
Rerica menjelaskan asal usul ketangguhan dari Desa Golan dan Desa Mirah. Dulu, lanjut dia, desa tersebut mempunyai tokoh yang hingga kini dikenal masyarakat desa. Dia adalah Ki Honggolono, pendiri Desa Golan. Ungkap Rerica, orang tersebut sakti mandraguna. Dia punya anak satu, Joko Lancur.
’’Anak itu jatuh cinta dengan anak pendiri Desa Mirah. Tapi, ayah gadis itu tidak menyetujuinya,’’ ujar Rerica.
Setelah tahu anaknya ditolak Ki Ageng Mirah –pendiri Desa Mirah–, Ki Honggolono marah, kemudian bertarung dengan Ki Ageng Mirah. Saat pertarungan itu, anak Ki Honggolono dan Ki Ageng Mirah justru meninggal,’’ ungkap mahasiswi kelahiran Surabaya itu.
Dari situlah, Ki Honggolono mengeluarkan sabdanya di hadapan para muridya. Ada lima sabda yang dia ujarkan.
Pertama, warga Golan dan Mirah tidak boleh menikah. Kedua, tidak boleh barang dari Golah masuk ke Mirah dan sebaliknya. Ketiga, warga Golan tidak boleh menggunakan atap dari jerami. Keempat, barang dari desa tersebut tidak boleh dijadikan satu.
’’Yang terakhir, warga Desa Mirah tidak boleh membuat apa pun yang berbahan kedelai,’’ ucap Rerica.
Afif menambahkan, semua hal itu diambil dari adat istiadat desa. Poin intinya, ungkap dia, anak-anak muda di dua desa tersebut harus lebih bisa terbuka pikirannya.
’’Zaman sudah maju, teknologi juga. Kami berharap agar pemuda kedua desa juga bisa saling bertemu,’’ ujarnya.
Namun, itu bukan hal yang mudah karena adanya budaya yang telah melekat dari turun-temurun. ’’Kami punya rencana untuk masuk lebih dalam dan mengenalkan bahwa budaya tetap dijaga. Namun, ada kalanya segala mistis itu bisa dihindari. Yang penting, pikiran yang positif,’’ ujarnya.