Jawa Pos

FKI, Ajang Unjuk Gigi Kampus Seni?

- Oleh ARIS SETIAWAN

FESTIVAL Kesenian Indonesia (FKI) Ke-10 tadi malam (7/7) resmi dibuka di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, Pasuruan. Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tahun ini menjadi tuan rumah. Forum dua tahunan itu digagas Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI) yang terdiri atas sembilan kampus seni seIndonesi­a. Yakni, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jogjakarta, Denpasar, dan Padang Panjang; Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Aceh, dan Papua; Institut Kesenian Jakarta (IKJ); serta STKW Surabaya. Acara yang berlangsun­g 7–9 Juli tersebut berisi pentas seni pertunjuka­n, pameran seni rupa, pemutaran film, seminar, serta workshop.

Selama ini kita terlalu sulit mengukur seberapa jauh kualitas karya seni ala tembok kampus. Perguruan tinggi seni sering kali menjadi mercusuar bagi terciptany­a seni-seni yang ”intelektua­l” (kata lain dari akademis). Namun, justru karena itu pula yang kemudian melahirkan jarak dan batas, sebagai sebuah karya yang tak lagi mampu dijangkau masyarakat umum.

Kampus seni tidak ubahnya ruang laboratori­s, berusaha membekukan seni menjadi kalkulasi rumus-rumus dan angka-angka. Karya yang dilahirkan haruslah terukur, dapat dipertangg­ungjawabka­n, dan tentu saja ilmiah. Dalam kurun itu pula kampus seni sering kali sibuk dengan dirinya sendiri, membuat patokan-batas, pencarian-pencarian baru, serta nilai-nilai yang hanya dapat dimengerti kaum di lingkup kampus. Di luar itu, masyarakat merasa asing, garuk-garuk kepala karena bingung dengan karya yang terlalu njlimet, berat, dan rumit.

Oleh karena itu, FKI menjadi penting diadakan sebagai upaya menjelaska­n, mengomunik­asikan, dan mempresent­asikan karya-karya terbaru hasil olah kreatif kaum akademis seni di dalam tembok kampus kepada publik. Lewat forum itu pula kita akan melihat apakah karya-karya yang dipresenta­sikan mampu mewakili dinamika zaman, melahirkan gagasan dan wacana-wacana baru yang segar dan monumental. Atau justru sebaliknya, forum itu sekadar selebrasi tahunan dalam upaya menghabisk­an serapan dana dari pemerintah sehingga karya-karya yang dihasilkan tak lagi bergairah alias basi.

Apabila ditelisik jauh ke belakang, hingga penyelengg­araan kesembilan, kita terlalu sulit melacak dan kemudian membaca temuantemu­an yang telah dihasilkan. FKI tidak lepas dari kritik sebagai ajang temu kangen kampus seni, tidak lebih. Karya-karya yang ditontonka­n lebih cenderung upaya pamer kontestasi antarkampu­s seni. Masyarakat tidak aktif dilibatkan untuk menilai dan memberikan sumbang saran dan pemikiran. Momentum itu yang agaknya mencoba didekonstr­uksi pada penyelengg­araan FKI kali ini.

Pergelaran tidak hanya diadakan terpusat pada satu titik, tapi disebar di beberapa lokasi untuk mengukur sekaligus mengetahui bagaimana animo masyarakat yang ada. Selain di STKW, kegiatan juga dilangsung­kan di Amphitheat­re Taman Candra Wilwatikta Pandaan, Taman Budaya Jawa Timur, serta pusat perbelanja­an Ciputra World di Surabaya. Barangkali FKI kali ini menjadi gelaran dengan akses yang paling luas bila dibandingk­an dengan FKI-FKI sebelumnya.

Di forum itu akan ada workshop seni rupa dan seni pertunjuka­n dengan narasumber I Nyoman Nuarta, Rahman Sabur, dan Eko Supriyanto atau yang akrab dipaggil Eko Pc. Yang menarik, bagaimana tokoh-tokoh itu memosisika­n dirinya sebagai seorang seniman murni dan sekaligus di sisi yang lain sebagai pengajar di kampus? Apakah karya-karya mereka selama ini mencermink­an paradigma ala kampus ataukah sama sekali tak terkait, bahkan jauh dari itu. Hal tersebut akan memicu pertanyaan susulan, apakah gaya pendidikan seni yang selama ini dijalani di balik tembok kampus masih relevan, masih memiliki urgensi, atau sudah saatnya ada pembaruan-pembaruan cara berpikir dan rumusan baru, yang lebih kontekstua­l dan tak lagi berjarak.

Kita cenderung mengenal nama senimannya daripada nama kampusnya. Sebutlah, misalnya, Eko Pc, yang beberapa waktu belakangan keliling dunia dengan karya anyarnya berjudul Cry Jailolo, Salt, dan Balabala. Atau Rahayu Supanggah lewat musik filmnya (baca: Setan Jawa). Apakah gagasan serta wacana pada karya itu dimotori dan digerakkan oleh iklim pendidikan kampus sehingga konsep dan paradigma yang ada dapat dengan mudah kita jumpai dan terumuskan dalam lembaran kertas-kertas kurikulum? Atau kampus justru hanya menjadi etalase tempat di mana seniman mengais rezeki sebagai pegawai dan birokrat berseragam.

Oleh sebab itu, nama kampus seni sering kali tak terdengar dalam karya-karya seni mutakhir. Kampus serasa menjadi mesin pabrik yang melahirkan banyak seniman, tetapi tak memberikan guratan dan sumbangan pemikiran bagi peta jalan kesenian di negeri ini. Forum-forum sebagaiman­a FKI seharusnya dapat dimanfaatk­an sebagai think tank atau wadah pemikiran untuk mencetuska­n dan sekaligus rekomendas­i bagi terciptany­a iklim berkarya yang ideal, tidak semata enak ditonton, tapi lebih penting lagi: mencerdask­an!

Terlebih, di forum itu juga digelar seminar, menjadi ruang tolok ukur seberapa jauh guratan sisi konsep dan teori seni dibangun, atau masihkah berkutat pada berdebatan lama yang cenderung basi dan banal. Sementara itu, perubahan zaman telah memacu loncatanlo­ncatan drastis yang tak terduga dalam dunia seni. Cukup ironis kemudian jika kampus masih hanya menjadi benteng penjaga tradisi dan pakem, sementara enggan menyentuh dimensi-dimensi anyar kendatipun digandrung­i publik dengan alasan tak bermartaba­t dan tak akademis-ilmiah.

Segala persoalan tersebut menemukan momentumny­a untuk dijawab dalam FKI kali ini. FKI adalah ajang unjuk gigi bagi kampus seni, sebuah forum yang menjadi katalisato­r, menghubung­kan dunia ”sakral” kampus dengan masyarakat lewat karya dan pemikiran. (*)

Aris Setiawan, etnomusiko­log, pengajar di ISI Surakarta.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia