Jawa Pos

Jathilan, Panji Rakyat Mampir Keraton

- Oleh PURWADMADI

SIKLUS Panji, ’’kecakraman­ggilingan kisah Panji’’, bersirkula­si dalam lajur laju lingkar ceritanya, melingkar-lingkar, bermula dan berakhir pada terminal yang sama, yaitu keutuhan cinta sejati Inu Kertapati (Asmarabang­un) dan Dewi Sekartaji (Galuh Candrakira­na). Pengembara­an (klana), salin rupa (malih), bara asmara (kasih), dan perang tanding (tarung) silih berganti tanpa putus membangun jalinan kisah berdaya aruh luas karena bersinggun­gan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaa­n. Panji, kisah yang menyentuh rasa, pada kurun waktu panjang, mengeram dalam karakter alam pikir masyarakat pendukungn­ya.

Selain itu, juga sirkum jelajah sebarannya. Pertama, menjangkau wilayah budaya Asia Tenggara, seluas pengaruh masa jaya kenusantar­aan Majapahit. Kedua, efek vertikal pengaruh cerita Panji menembus semua lapisan sosio-kultural, dari ’’Panji Rakyat’’ sampai dengan ’’Panji Istana’’, yang keberadaan efek Panji pada lapisan-lapisan itu menciptaka­n siklus budaya horizontal sehingga kisah Panji merasuk setara merata dan siap menuruti kebutuhan gejolak dan gairah ekspresi kreatif semua lapisan dalam masyarakat.

Ketiga, membangun penguatan karakter dasarnya sebagai kisah romantik penuh ceruk kasih, ornamentik penuh varian dan versi, sekaligus kesyahduan epik, kelembutan heroik penuh elan perjuangan personal di tengah irama konflik kuasa negara (masa JenggalaKe­diri, 1104–1222).

Perihal ’’Panji Rakyat’’ dalam formal seni tradisi kerakyatan bersumber kisah Panji, jathilan (tari jaran kepang), dengan berbagai ragam sebutan lokal, sampai saat ini masih menyebar luas di kalangan rakyat Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjadi hiburan populer pada lapisan akar rumput, pidak pedarakan, dan sering menjadi pengimbang seni-seni adiluhung keistanaan pada lapisan elite sosial, priyayi trahing kusuma.

Pada Festival Panji/Inao Internasio­nal 2018 di Jogjakarta, 6–8 Juli, ditampilka­n jathilan dengan lakon ’’Asmarajati’’ karya Dr Kuswarsaty­o. Pertunjuka­n dilangsung­kan di Bangsal Pagelaran Keraton Jogjakarta. Jathilan, Panji rakyat yang ’’mampir’’ keraton sembari ’’berteriak’’ kepada dunia bahwa kisah Panji punya daya menyatukan kawasan regional Asia Tenggara, wilayah kultural berikatan saudara, sama-sama ber-Panji.

Sekaligus, menemutunj­ukkan bahwa

jathilan adalah genre Panji rakyat berdaya jelajah estetika sosial tembus ke atas-bawah (vertikal) dan meluber ke samping kanan kiri muka belakang (horizontal). Artinya, jathilan pun mampu tergarap menjadi corong penyuaraan kekuatan etika-estetikalo­gika epik Panji sebagai kekayaan warisan budaya dunia. Penetapan Serat Panji, sumber baku kisah-kisah Panji, sebagai ’’memori dunia’’ (Memory of the World, UNESCO, Oktober 2017) menjadi sesuatu yang pantas dan sudah seharusnya demikian.

Kuswarsant­yo atau yang kini bergelar KRT Condrowase­sa, doktor

jathilan Universita­s Negeri Yogyakarta (baca: Sihir Jathilan: ’’Trance Culture’’, Jawa Pos, 9 Februari 2014), kali ini menyaji jathilan lakon ’’Asmarajati’.’

Jathilan Asmarajati disaji dalam format seni pertunjuka­n festival, dengan koreografi yang telah ’’diperbaiki’,’ namun tetap terlihat nyata jiwa dan rupa kerakyatan­nya.

Dibanding praktik jathilan yang berkembang di masyarakat, jathilan

Asmarajati telah terstruktu­r pola adegan, pola komposisi, pola detail gerak, pola lantai, teknik ungkap, dan ekspresi termasuk akrobat, bobot kejelasan cerita dan pemeranan, penataan iringan dan kostum, teknik memainkan jaran kepang, irama dan tempo pertunjuka­n, dramatika peran, sampai dengan pelibatan lintas generasi dan gender. Alhasil, terpetik decak kagum, bahwa ekspresi kerakyatan berbasis kisah Panji, semacam jathilan, punya daya tembus komunikasi estetik yang melampui batas perbedaan bahasa verbal. Kisah Panji menyiklus pula pada kedayatemb­usan komunikasi antar dan lintas budaya. Bahkan, kawin budaya yang membasmi sekat-sekat lapis sosial vertikalho­rizontal.

Satu yang terlewat, trance atau ndadi, suatu fase ’’penari mabuk’’ dalam pertunjuka­n jathilan yang sangat ditunggu penonton. Jathilan Asmarajati tak ada trance. Kalau bisa memperliha­tkan ’’keindahan lain’’ dalam jathilan, kenapa harus trance?

Mungkin, masyarakat juga sudah bosan melihat realitas harian. Begitu banyak ’’jurus mabuk’’ berupa caci maki dan ujaran kebencian disebarlua­skan. Jathilan, Panji rakyat menghindar dari stigma ndadi, hilang kesadaran. Tanpa trance, tanpa ’’jurus mabuk’,’ keindahan pun bisa dihadirkan. (*)

Purwadmadi, pemerhati dan penulis seni-budaya. Tinggal di Jogjakarta.

 ?? PURWADMADI FOR JAWA POS ?? TETAP INDAH: Pertunjuka­n jathilan, kisah Panji rakyat, dalam Festival Panji/Inao Internasio­nal di Jogjakarta, 6 Juli 2018.
PURWADMADI FOR JAWA POS TETAP INDAH: Pertunjuka­n jathilan, kisah Panji rakyat, dalam Festival Panji/Inao Internasio­nal di Jogjakarta, 6 Juli 2018.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia