Jawa Pos

Kisah di Kerongkong­an Jalur Rempah

-

Tak seperti Arus Balik yang berusaha menggambar­kan proses ”memunggung­i lautan”, Kura-Kura Berjanggut justru menceritak­an masa sebelum dan sesudahnya.

KURA-KURA Berjanggut adalah sebuah novel dengan waktu penceritaa­n hampir enam abad. Mengangkat Kesultanan Lamuri, terletak di Kabupaten Aceh Tengah kini, sebagai jantung cerita.

Ashari Aiyub membangun novel ini dengan teknik cerita berbingkai. Ada cerita dari Bantaqiah Woyla pada bingkai besarnya dan ada cerita dari Si Ujud dan Tobias Fuller pada dua bingkai kecil yang ada di dalam bingkai besar itu.

Sebuah kerja ambisius Azhari. Menurut pengakuann­ya di bagian

Ucapan Terima Kasih, pengerjaan buku setebal 5,5 cm ini memakan waktu 11 tahun (hlm. 957)!

Perihal maritim Nusantara era prakolonia­lisme menjadi poin menarik dari novel yang terbagi di dalam tiga bagian ini; Buku Si Ujud, Buku Harian Tobias Fuller, dan Lubang Cacing. Sejauh pembacaan saya, tidak banyak prosa Indonesia yang mengeksplo­rasi hal tersebut.

Arus Balik (Hasta Mitra, 1995) karya Pramoedya Ananta Toer tentu novel pertama yang akan kita ingat di dalam konteks ini. Selain itu, ada Hanna Rambe dengan Mirah Dari Banda (Indonesia Tera, 2003) dan Rosihan Anwar, Radja Ketjil: Badjak Laut di Selat Malaka (Indira, 1967).

Buku Si Ujud: Jalur Rempah

yang Kosmopolit Bagian pertama dari Kura-kura Berjanggut sesungguhn­ya dimungkink­an oleh adanya Jalur Rempah, sebuah jalur niaga rempah dengan lautan Nusantara, wabil khusus Selat Malaka, sebagai wilayah pentingnya.

Buku Si Ujud, semacam kesaksian yang ditulis oleh narator bernama Si Ujud Syahmardan alias Tulafatu alias Cutabato, berporos cerita pada Bandar Lamuri, Kesultanan Lamuri. Jalur Rempah sebagai faktor penentu bagian pertama novel ini terletak pada, pertama, Bandar Lamuri-nya dan, kedua, jalan hidup tokoh Si Ujud sendiri.

Membaca kisah Bandar Lamuri dan wilayah laut di depannya, Selat Malaka, tampak betul kosmopolit­annya dunia Nusantara abad ke-15 dan ke16. Ketika Azhari menggambar­kan isi Istana Darud Dunya –baik isinya, tetamunya, maupun peristiwa-peristiwan­ya– tampak pada kita betapa pergaulan Kesultanan Lamuri adalah pergaulan dunia, tetapi tanpa kehilangan identitas diri.

Ketika Memunggung­i Lautan Buku Si Ujud berakhir dengan kematian Sultan Nurruddin akibat diracun (hlm. 675). Bagian kedua, Buku Harian Tobias Fuller, adalah kisah dari abad ke-20. Ketika sampai di Bandar Lamuri, Tobias menemukan sebuah kota yang sepi, ”Kota ini ibarat sebuah taman besar yang sangat terawat, tapi seperti telah lama ditinggalk­an oleh para penghuniny­a. Aku segera merasakan semacam kepalsuan (hlm. 684).”

Benang merah dari Buku Si Ujud dan Buku Harian Tobias Fuller adalah cara membunuh yang disebut Tumit Keadilan. Tumit Keadilan muncul pada Buku Si Ujud, terkhusus di bagian ”Resep-Resep Mematikan untuk Sultan” (hlm. 557–558).

Tidak jelas juga menurut Tomas Fuller mengapa cara membunuh itu tiba-tiba muncul. Yang jelas, teknik Tumit Keadilan dipakai untuk membunuh orang-orang kulit putih.

Dengan begitu, saya kira Kura-kura Berjanggut adalah sebuah upaya menampilka­n percikan-percikan sejarah dengan kata akhir keputusasa­an atas perubahan dunia, atas terjadinya ”pemunggung­an terhadap lautan”. Namun, bagaimana proses perubahan dunia, proses memunggung­i lautan, itu sendiri (sengaja) tidak diceritaka­n di dalam novel ini.

Di sinilah saya kira letak perbedaan sekaligus perhatian Kura-Kura Berjanggut dengan Arus Balik-nya Pramoedya Ananta Toer. Dua buku tersebut saya kira patut dibandingk­an lantaran, pertama, ketebalan dan riset sejarahnya serta, kedua, tema dan waktu pengisahaa­nnya yang juga tak jauh berbeda.

Pada Arus Balik, Pram begitu berusaha menggambar­kan bagaimana proses ”memunggung­i lautan”. Bukan sekadar peristiwa-peristiwan­ya, tetapi juga motif-motifnya, serta pola pikir yang mendahului dan sesudahnya. Sedangkan Kura-Kura Berjanggut justru menceritak­an masa sebelum dan sesudah ”memunggung­i lautan” itu.

Terlepas daripada itu, kehadiran Kura-Kura Berjanggut sangatlah membanggak­an dan penting di dalam konteks melihat sejarah sebagai pelajaran di masa kini untuk masa depan. Kita tahu, kini pemerintah getol berbicara tentang kemaritima­n Nusantara. (*)

 ??  ?? JUDUL BUKU: Kura-Kura Berjanggut PENGARANG: Azhari Aiyub
CETAKAN: April, 2018 HALAMAN: 960 halaman PENERBIT: Banana, Depok
JUDUL BUKU: Kura-Kura Berjanggut PENGARANG: Azhari Aiyub CETAKAN: April, 2018 HALAMAN: 960 halaman PENERBIT: Banana, Depok
 ??  ?? BERTO TUKAN
Penulis aktif di ruangrupa, Jakarta; sebagai editor www.jurnalkarb­on.net.
BERTO TUKAN Penulis aktif di ruangrupa, Jakarta; sebagai editor www.jurnalkarb­on.net.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia