Jawa Pos

Semoga Arapaima Ke-19 Memang Tak Ada

-

Sangat keras. ”Namun, dagingnya enak dimakan,” kata Noto, kepala Desa Mliriprowo, Tarik, Sidoarjo, Jawa Timur.

Heri Wijianto, warga Kota Mojokerto, juga ingat betul bagaimana dirinya sempat menembak dengan senapan angin seekor Arapaima di Sungai Brantas. Sekitar 50 meter di samping rumahnya di Miji. Tepat sasaran sebenarnya. ”Tapi nggak mati. Saya sudah korban tiga jala yang robek karena diseruduk,” katanya kepada Jawa Pos Radar Mojokerto.

Dengan kekuatan seperti itu dan bobot yang gigantik, berat sampai 200 kilogram dan panjang 3–4,5 meter, Arapaima gigas memang predator yang menakutkan. Apalagi, masa hidupnya bisa mencapai 20 tahun.

Tak heran jika sejak awal mula penemuan ikan raksasa tersebut pada 25 Juni lalu, langsung muncul kekhawatir­an terhadap kelestaria­n spesies ikan penghuni Sungai Brantas. Bahkan, setelah 18 ekor yang diklaim telah dilepaskan ke Brantas sudah tertangkap di Mojokerto, Sidoarjo, dan Surabaya, kekhawatir­an itu belum sepenuhnya hilang.

Kepala Balai Karantina Ikan dan Pengendali­an Mutu (BKIPM) Surabaya I Muhlin mengatakan, pihaknya masih menantikan kepastian ada tidaknya ikan ke19 tersebut. ”Keberadaan­nya masih simpang siur serta belum berhasil tertangkap langsung. Baik oleh petugas maupun warga,” ujarnya kepada Jawa Pos.

Lalu, sudah seberapa rusak habitat di Brantas? Direktur Riset Sungai Brantas Ecoton Riska Darmawanti menjelaska­n, pada awal penelitian­nya di sungai terpanjang di Jawa itu pada awal 2000-an, tercatat ada 50 spesies ikan. Tapi, di penelitian terakhir pada 2017 terungkap, jumlah spesies ikan di Brantas telah menghilang lebih dari separo. Merunut pengakuan Gofur, si pemilik asal ke-18 Arapaima,

pelepasan pertama dilakukan pada 25 Juni. Artinya, riset itu belum mencatat dampak kehadiran si predator. ”Namun, jika dibiarkan, spesies ikan lokal akan terus berkurang bila ada Arapaima

di dalamnya (Sungai Brantas, Red),” tutur Riska.

Artinya, meski dalam waktu singkat, bisa jadi Arapaima juga turut menyumbang hilangnya sejumlah spesies di Brantas. Apalagi kalau melihat hasil pembedahan ikan Arapaima yang tertangkap. Di dalam perut si predator ditemukan berbagai macam spesies penghuni Brantas. Misalnya ikan wader dan ikan lele. ”Saat mulutnya terbuka, jenis ikan apa pun akan masuk ke mulutnya,” imbuh Riska.

Yang pasti, Arapaima dikenal bereproduk­si dengan cepat dan dalam jumlah besar. Direktur Ecoton Prigi Arisandi mengungkap­kan, ketika salah satu Arapaima yang tertangkap dibedah, ditemukan kurang lebih 25 ribu telur di dalam perut ikan tersebut. Jika berhasil menetas, ikan itu segera membuat koloni baru di Sungai Brantas.

Padahal, belum ada spesies di Brantas yang mampu mengancam keberadaan ikan raksasa tersebut. Prigi menyebutka­n, di habitat aslinya, predator alami Arapaima adalah buaya. ”Sedangkan di Brantas keberadaan buaya terpantau minim,” ujarnya.

Teror Arapaima di Brantas tersebut juga seperti membuka kotak Pandora: banyak ikan ilegal yang beredar luas di Indonesia.

Berdasar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 41/2014, ada 152 jenis ikan asing berbahaya yang diduga sudah berada di Indonesia. Termasuk Arapaima. Ikan-ikan itu dilarang masuk Indonesia karena dapat membahayak­an kelestaria­n sumber daya ikan, lingkungan, bahkan manusia. ”Jadi, yang dilarang sebenarnya sudah banyak ditemukan di Indonesia,” ucap Dosen Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB M. Mukhlis Kamal.

Contoh ikan asing berbahaya dan sudah masuk Indonesia dan sering ditemukan adalah ikan pembersih lumut atau ikan sapu-sapu (Pterygopli­chthys spp). Bahkan, di dalam regulasi larangan pemasukan ikan berbahaya itu, ada lima jenis ikan pembersih lumut yang dilarang masuk Indonesia.

Contoh lain ikan piranha dan ikan aligator yang bahkan sudah ada tiga jenis. Ikan aligator saat ini bahkan dijual bebas di Palembang Kemudian ikan red devil, ikan jaguar pot, ikan midas cichlid, ikan golsom, dan ikan oskar.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia