Divestasi Freeport Masih Alot
Terganjal Kesepakatan Joint Venture dan Masalah Lingkungan
JAKARTA – Proses divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) belum tuntas. Proses yang telah berlangsung selama dua tahun tersebut diperkirakan baru selesai dua bulan lagi.
Beberapa hal masih menjadi pengganjal kesepakatan pelepasan saham PTFI ke Inalum sebesar 51 persen
J
Di antaranya, joint venture agreement (JVA) maupun masalah lingkungan yang harus diselesaikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
JVA nanti menyepakati pembentukan perusahaan patungan antara pemerintah daerah dan Inalum yang mendapat porsi 51 persen saham PTFI. Dengan demikian, PTFI nanti dimiliki Freeport McMoran dan perusahaan baru bentukan Inalum.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menyatakan, pelepasan 51 persen saham PTFI saat ini masih berlangsung. ”Kalau struktur transaksi dan harga, sudah di-lock. Tinggal prosesnya finalisasi mengenai joint venture agreement,” ujarnya di Kementerian Keuangan kemarin (12/7).
Dia menjelaskan, setelah JVA selesai, barulah dilakukan pembayaran untuk menuntaskan divestasi. ”Setelah tanda tangan dan bayar, Pak Jonan (Menteri ESDM Ignasius Jonan) dan Ibu Menkeu mengeluarkan IUPK (izin usaha pertambangan khusus)-nya, stabilitas agreement, stabilisasi investasi yang menjadi bagian dari IUPK,” jelasnya.
Nilai divestasi yang disepakati kedua pihak mencapai USD 3,85 miliar. Angka tersebut digunakan untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto di PTFI dan 100 persen Freeport McMoran Inc (FCX) di PT Indocopper Investama yang memiliki 9,36 persen saham di PTFI. Hal itu tertuang dalam head of agreement (HoA) antara PT Inalum, FCX, dan Rio Tinto yang baru saja ditandatangani mereka.
Pokok-pokok perjanjian tersebut sama dengan kesepakatan antara pemerintah Indonesia, Pemprov Papua, dan Pemkab Mimika sebesar 10 persen dari kepemilikan saham PTFI. Sebelum divestasi selesai, Freeport belum bisa mendapat IUPK-OP secara permanen. Perusahaan AS yang beroperasi di Papua tersebut pada 4 Juli lalu baru saja mendapat perpanjangan izin operasi berstatus IUPK selama sebulan saja sampai akhir Juli.
Dengan demikian, jika divestasi PTFI tidak mencapai kesepakatan lagi pada akhir bulan ini, pemerintah terpaksa memperpanjang kembali izin operasi Freeport di Indonesia. Tanpa per- panjangan izin operasi, Freeport tidak akan bisa memproduksi dan menjual hasil pengolahan konsentrat ke luar negeri.
Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin menyatakan, divestasi 51 persen saham PTFI ke Indonesia bakal memperbesar penerimaan negara. ”Kita bisa dapat profit setengah dari rata-rata tahun mereka yang USD 2 billion per year,” imbuhnya.
Untuk pendanaan, lanjut dia, Inalum telah mendapat tawaran pinjaman USD 5,2 miliar. Angka tersebut melebihi dana yang dibutuhkan Inalum untuk membayar nilai divestasi PTFI sebesar USD 3,85 miliar. Pendanaan pun diperoleh dari sindikasi 11 bank, baik dalam maupun luar negeri. Sebanyak USD 3,5 miliar akan diserahkan ke Freeport McMoran dan USD 350 juta diberikan ke PT Indocopper Investama.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengungkapkan, pihaknya masih terus berdiskusi terkait dengan masalah lingkungan. ”Kami sudah kontrol sejak September, Oktober. Kami identifikasi, kami cek kelemahan-kelemahannya ada 48 poin,” ujarnya.
Saat ini sudah ada 35 poin aspek lingkungan yang diselesaikan Freeport. Jadi, masih tersisa 13 poin yang belum diselesaikan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan berharap divestasi bisa segera diselesaikan. ”Kami akan finalkan IUPK OP yang disebutkan setelah divestasi tuntas dan stabilitas investasi sepakat karena smelter dan ketentuan lain dalam UU Minerba sudah tidak masalah,” katanya.
CEO Freeport McMoran Richard Adkerson menyatakan, kepastian investasi Freeport di Indonesia akan mengerek penerimaan bagi pemda maupun pemerintah pusat. ”Berdasar harga tembaga dalam masa datang antara USD 60 miliar hingga USD 90 miliar. Di bawah struktur yang baru, lebih dari 70 persen dari keuntungan akan masuk ke pemerintah melalui pajak, royalti, dan dividen ke Inalum,” jelasnya.
Menkeu Sri Mulyani Indrawati menuturkan, penandatanganan head of agreement mengenai pokok-pokok perjanjian divestasi saham PTFI merupakan langkah maju dalam mewujudkan kesepakatan pemerintah Indonesia dengan PTFI dan Freeport McMoran pada 27 Agustus 2017. Kesepakatan tersebut, antara lain, memuat landasan hukum yang mendasari adalah bentuk IUPK OP, bukan bentuk kontrak karya (KK). Kemudian, divestasi saham 51 persen untuk kepemilikan nasional Indonesia, kewajiban Freeport membangun smelter di dalam negeri, dan penerimaan negara secara agregat yang lebih besar daripada penerimaan negara melalui KK selama ini.
”Yang berikutnya adalah perpanjangan operasi 2 x 10 tahun hingga 2041 diberikan setelah memenuhi kewajiban IUPK-OP,” jelasnya dalam konferensi pers di gedung Kemenkeu kemarin.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut melanjutkan, untuk mendukung divestasi, telah diteken perjanjian antara Pemprov Papua dan Pemkab Mimika pada 12 Januari 2018. Dengan perjanjian tersebut, Papua dan Mimika secara bersama-sama mendapat hak 10 persen.
Sementara itu, untuk mendukung peningkatan penerimaan negara, sesuai dengan amanat pasal 169 UU Nomor 4 Tahun 2009 soal Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), pihaknya telah melakukan upaya untuk memastikan pengenaan tarif dan penerimaan negara dalam bentuk IUPK.
”Termasuk memastikan ketersediaan regulasi bagi semua investor dalam memberikan stabilitas pembayaran kewajiban penerimaan negara,” ungkapnya.
Penerbitan regulasi tersebut, kata Sri Mulyani, berpedoman pada pasal 169 UU Minerba yang mengatur penerimaan negara secara agregat harus lebih besar daripada penerimaan negara melalui sistem KK selama ini. Dia menekankan, pemerintah berharap, di samping meningkatkan pendapatan negara, iklim investasi bisa terjaga.
Sri Mulyani menegaskan, pendatanganan perjanjian kemarin merupakan bentuk kesepakatan harga dan struktur dari transaksi untuk pengambilalihan saham Freeport yang mencapai 51 persen. Termasuk standardisasi dari penerimaan negara yang akan dituangkan dalam IUPK. Standardisasi penerimaan negara tersebut adalah total penerimaan pemerintah Indonesia yang terdiri atas pajak penghasilan (PPh) badan, royalti, bagi hasil dari keuntungan pemerintah pusat dan daerah dengan perbandingan 4 dan 6 persen, serta pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak pertambahan nilai (PPN).
”Itu semua ada financial stability agreement yang akan dituangkan kalau kita sudah selesaikan attachment IUPK. Jadi, head of agreement ini akan menjadi closing jika semua sudah dipenuhi persyaratannya. Yakni, lima hal yang diumumkan Agustus tahun lalu,” imbuhnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menyambut baik kesepakatan divestasi 51 persen saham PTFI ke BUMN Inalum. Menurut dia, kesepakatan tersebut menjadi lompatan besar bagi perjalanan Indonesia dalam 50 tahun terakhir.