Jawa Pos

Saatnya Indonesia Pegang Kendali

- Oleh FAHMY RADHI

Mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas

SAYA kira divestasi itu kemajuan signifikan. Itu merupakan yang pertama setelah

50 tahun Freeport dikuasai McMoran, dan sekarang kembali ke pangkuan ibu pertiwi dengan menggengga­m 51 persen saham

J

Nah, dengan 51 persen saham, Indonesia mempunyai kewenangan untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaa­n Freeport. Siapa operatorny­a, kemudian tentang policy dividen.

Nah, keuntungan­nya, pertama dividen yang akan diterima jauh lebih besar. Kedua, dapat penambahan pemasukan negara dari pajak dan royalti. Royaltinya kan juga ada kenaikan. Nanti ada aliran dana pemasukan setelah divestasi saham 51 persen. Selain kesepakata­n divestasi saham, ada smelterisa­si dan peningkata­n pendapatan negara dari pajak dan royalti.

Dengan smelterisa­si disepakati harus dilakukan Freeport, itu lebih mudah bagi Indonesia karena sebagai pengendali. Artinya, sekarang tidak lagi ekspor dalam bentuk konsentrat. Karena ekspor konsentrat itu kan nilai tambahnya rendah. Sehingga jika diolah dalam smelter di dalam negeri, yang diekspor bisa berupa emas batangan, tembaga, yang nilai tambahnya lebih besar. Pemasukan dari pajak juga lebih besar.

Yang lebih penting, Freeport akan membangun smelter entah di Papua, Gresik, atau di tempat yang lain. Maka, kemudian membuka lapangan pekerjaan baru. Lalu, dengan berbagai indikator tersebut, tidak hanya Freeport kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tapi, juga memberikan nilai tambah riil tadi dalam bentuk pendapatan negara. Termasuk pendapatan pemerintah daerah yang sudah memperoleh saham 10 persen.

Proses perundinga­n yang paling alot tentu menentukan harga jual tadi. Nah, kemudian mereka sepakat melibatkan lembaga keuangan internasio­nal untuk menilai saham divestasi. Kemudian, angka yang muncul USD 3 miliar–USD 5 miliar. Harus diambil jalan tengahnya. Menurut analisis saya, yang paling tepat USD 3,5 miliar sesuai nilai pasar.

Tetapi, kalau di atas USD 4 miliar, terlalu berat bagi Indonesia. Apalagi, kan nanti Indonesia harus membayar denda kerusakan lingkungan yang diaudit BPK. Seharusnya diperhitun­gkan juga dalam nilai atau harga pasar PT FI. Maka, kalau memperhitu­ngkan denda tadi, USD 3 miliar–USD 3,5 miliar harga tepat bagi Indonesia.

Tambang yang di atas tanah relatif sudah habis sehingga memang penambanga­n berikutnya untuk bawah tanah. Cadangan tambang bawah tanah itu masih besar sekali. Dari perhitunga­n yang saya ketahui, cadangan tersebut masih bisa dieksplora­si sampai 2060. Tetapi, untuk pengelolaa­n, butuh teknologi, butuh kapabilita­s SDM.

Dalam kondisi semacam itu, Indonesia tetap harus memegang kendali apakah di dalam pengelolaa­n maupun operator. Apalagi, 90 persen karyawan Freeport orang Indonesia. Nah, hanya kalau masih membutuhka­n tenaga ahli, kita bisa meng-hire dengan dibayar. Hal prinsip yang harus dipertahan­kan pemerintah Indonesia setelah menguasai 51 persen adalah pengelolaa­n harus ada pada Indonesia.

Masalah nanti ada dua direksi dari Freeport itu masalah biasa dalam joint venture. Tetapi, otoritas harus di pemegang saham mayoritas. Ini karakteris­tik yang harus dipertahan­kan. Operator juga harus tetap di tangan Indonesia. Ini bentuk kedaulatan Indonesia. *) Mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia