Jawa Pos

Dewi Minderan, Isur Dikutuk Sulit Jodoh

Melihat Kehidupan Kampung Albino atau Sunda Walanda di Garut (2-Habis)

- ANISATUL UMAH, Garut

Anak-anak albino di Kampung Ciburuy, Garut, Jawa Barat, tidak hanya bermasalah dengan penglihata­nnya. Tetapi juga tertekan oleh perundunga­n (bullying) dan ejekan teman-temannya di sekolah. Karena itu, anak-anak ’’bule’’ Sunda itu umumnya minderan dan pemalu.

DEWI RESMANA, 13, salah seorang anak albino di Kampung Ciburuy, nyaris mogok sekolah. Gara-garanya, siswi kelas II SMP Persada Ciburuy itu sering diejek teman-temannya sebagai anak bule. Dia pun sempat beberapa hari tidak masuk sekolah sebelum guruguruny­a membujukny­a untuk kembali bersekolah.

Dewi akhirnya mau bersekolah lagi setelah gurunya menjamin tidak akan ada temannya yang mem-bully lagi.

’’Anak itu (Dewi Resmana, Red) memang cenderung pendiam dan kurang bergaul. Mungkin dia minder dengan kondisi kulitnya yang berbeda dengan teman-temannya,’’ terang Indra Tejamukti, guru Dewi, saat ditemui Jawa Pos di SMP Persada beberapa waktu lalu.

Dewi Resmana adalah anak sulung Nana Suryana, juru kunci Kabuyutan Ciburuy (semacam rumah adat di Kampung Ciburuy). Nana memiliki dua anak albino. Selain Dewi, adiknya, Jajang Gunawan, yang masih 2,5 tahun, juga memiliki kelainan genetik itu. Padahal, Nana dan istrinya, Siti Rohmah, normal

J

Sebagaiman­a diberitaka­n kemarin (12/7), Kampung Ciburuy dikenal sebagai kampung albino atau kampung bule. Orang Garut menyebutny­a Sunda Walanda, orang Sunda yang mempunyai warna kulit mirip orang Belanda. Yakni, putih pucat. Albino merupakan kelainan bawaan hipopigmen­tasi yang dikarakter­isasikan oleh kurangnya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut.

Di Ciburuy saat ini terdapat sembilan warga albino. Konon, kelainan itu ada sejak zaman nenek moyang mereka berabad lalu. Angka preferensi albino di Ciburuy termasuk tertinggi di Indonesia. Preferensi­nya 1:178 orang, dengan jumlah penduduk Ciburuy sekitar 1.600 jiwa.

Indra menjelaska­n, Dewi Resmana memang satu-satunya siswa albino di sekolah. Mungkin karena merasa berbeda sendiri, dia kemudian menarik diri dari pergaulan. Dia juga cenderung pendiam.

”Mungkin karena sering diejek sehingga dia tidak mau bermain dengan teman-temannya,” ungkap Indra.

Ibunda Dewi, Siti Rohmah, membenarka­n bahwa anaknya pernah tidak mau bersekolah karena sering diejek teman-temannya. Karena kesal, Rohmah sempat mencegat anak-anak yang suka mengejek Dewi saat pulang dari sekolah. ”Saya marahi dia. Kita kan sama-sama makhluk Allah. Sejak itu teman Dewi tidak mengejek lagi,” tutur Rohmah dengan nada kesal.

Dalam pembelajar­an di kelas, Dewi sering mengalami kendala dengan penglihata­n. Matanya sering silau dan seperti kelilipan. Kadang matanya sampai merah. Untuk membaca buku, dia membutuhka­n jarak yang sangat dekat dengan buku bacaannya.

Begitu pula saat membaca tulisan di papan, Dewi harus dekat dengan papan tulis. ”Para guru memaklumi kondisinya itu. Sehingga membiarkan Dewi tidak menulis di kelas, melainkan menyalin buku temannya di rumah,” jelas Indra.

Nasib yang sama dialami Heri Agustin, 15. Sosok albino remaja itu juga pendiam dan pemalu. Saat ini Heri duduk di bangku kelas 2 MA Miftahul Anwar Ciburuy. Dia juga menjadi satu-satunya albino di sekolah dan di rumahnya. Meski tak banyak bicara, Heri termasuk aktif dalam belajar mengaji di pesantren yang lokasinya tak jauh dari rumahnya. ”Kadang saya tidur di pesantren,” ungkap siswa kelahiran 2 Agustus 2002 itu.

Di sekolah, Heri mengaku sering diejek teman-temannya karena kondisinya yang albino. Tapi, ia tak pernah menanggapi serius ejekan teman-teman itu. ”Saya biarkan saja. Saya juga nggak bilang ke guru. Saya anggap angin yang berlalu. Ini kan takdir, ya jalani saja,” ungkapnya.

Pengalaman Isur Suryana lain lagi. Albino 41 tahun tersebut pernah ”dikutuk” oleh teman-temannya tidak akan mendapat jodoh. ”Saya dibilang, mana ada cewek sini yang mau dengan bule seperti kamu,” cerita dia.

Tapi, Isur tidak patah semangat dengan ejekan dan ”kutukan” teman-temannya saat masih remaja itu. Buktinya, ketika dia dewasa, ada perempuan normal (tidak albino) yang mau menerima dirinya apa adanya. Perempuan yang kemudian menjadi istrinya itu bernama Awang. Pasangan suami istri tersebut kemudian dianugerah­i dua anak normal.

”Ini bukti nyata bahwa albino juga bisa mendapatka­n jodoh yang normal. Anak-anak saya juga normal,” paparnya mengenang.

Menurut dr Stefani Rachel Soraya Djuanda SpKK, tingginya preferensi albino di Ciburuy bisa dipicu warga albino yang memilih untuk menetap di kampung dan menikah dengan orang yang berasal di kampung yang sama.

”Bisa jadi warga albino di Ciburuy kawin dengan orang di kampungnya. Sehingga gen albinonya terus terbawa hingga turun-temurun di kampung itu,” kata dokter spesialis kulit dan kelamin di RSU Bunda Jakarta itu.

Penyebab banyaknya warga albino di suatu kampung, kata Stefani, adalah terjadinya perkawinan orang-orang yang masih mempunyai hubungan keluarga sehingga gennya mirip-mirip. Perkawinan seperti itu semestinya dihindari untuk menjauhkan dari kelainan genetik pada keturunann­ya kelak.

”Banyaknya albino di Ciburuy itu bisa jadi karena perkawinan antara orang-orang yang masih mempunyai hubungan genetika,” tandasnya.

Orang yang mengalami albino, menurut Stefani, rata-rata memiliki permasalah­an pada mata. Karena masalah genetik, diperkirak­an hal tersebut sulit disembuhka­n. Yang bisa dilakukan, bagaimana upaya pencegahan­nya agar tidak muncul albino lagi.

”Orang-orang albino harus kita lindungi. Mudah-mudahan pemerintah lebih peduli kepada mereka. Karena mereka butuh support agar bisa hidup seperti yang lain,” harapnya.

Terkait warna kulit, orang yang tidak memiliki pigmen (albino) seharusnya tak boleh terkena sinar matahari. Sebab, orang tanpa pigmen tidak memiliki proteksi sama sekali dan memiliki risiko tinggi pada kanker kulit.

”Kulit orang albino yang menjadi merah itu berarti luka bakar. Itu risiko kanker kulitnya tinggi. Karena itu, orang albino jangan sering terpapar matahari. Ini kelainan genetik, tidak bisa diapa-apain,” tutur Stefani.

 ?? SALMAN TOYIBI/JAWA POS ??
SALMAN TOYIBI/JAWA POS
 ?? SALMAN TOYIBI/JAWA POS ?? KORBAN PERUNDUNGA­N: Keluarga Isur Suryana. Istri dan dua anaknya normal. Foto atas, Heri Agustin yang pendiam dan pemalu.
SALMAN TOYIBI/JAWA POS KORBAN PERUNDUNGA­N: Keluarga Isur Suryana. Istri dan dua anaknya normal. Foto atas, Heri Agustin yang pendiam dan pemalu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia