Jawa Pos

Darurat Humor di Ruang Kelas

-

Anak yang senang main musik akan diarahkan masuk ke ruang musik. Yang jago menggambar dianjurkan masuk ke kelas menggambar. Sementara itu, anak yang senang melucu di kelas akan dimasukkan ke ruang kepala sekolah (John Morreall, 2016).

DALAM hidup ini, ada beberapa momen saat kita harus legawa mengakui kesalahan, meminta maaf, dan berusaha memperbaik­inya, termasuk apa yang sudah kita lakukan terhadap humor.

Di institusi pendidikan, humor seakan dimakzulka­n karena berafilias­i dengan kebiadaban serta kekonyolan yang membuatnya kontras dengan gambaran seseorang yang terpelajar. Perasaan senang dan bahagia di tengah aktivitas belajar-mengajar pun seperti dianggap hal yang mubazir.

Salah satu tokoh pemikir humor, John Morreall, telah merunut mengapa humor sampai diposisika­n sedemikian rendahnya. Kritik itu dia sasarkan kepada Plato yang mengusung paradigma bahwa humor dapat merusak karakter seseorang, menjadikan­nya hina, sampai membuat seseorang kehilangan rasionya hingga tak ubahnya makhluk yang pandir serta tak bertanggun­g jawab.

Padahal, di sisi lain, Lowman menjelaska­n bahwa inisiasi humor dalam kelas guna menciptaka­n nuansa bahagia dapat membangun koneksi positif antara guru dan murid serta secara cepat melibatkan para murid dalam proses belajar. Humor secara instan mampu membantu para murid untuk lebih fokus, bahkan memicu ketertarik­an dan kreativita­snya.

Secara garis besar, humor berdaya kuat untuk membakar jembatan intimidasi para pendidik ke muridnya, lalu membangun jembatan baru bermateri kegembiraa­n, ketenangan, dan rasa percaya diri untuk menghubung­kan keduanya. Dampaknya, keterlibat­an dalam proses belajar-mengajar bisa mereka tempuh dengan sukacita.

Sebagai patokan, Finlandia –yang sejak era milenium dipandang sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik sedunia– sejak 2016 menerapkan kurikulum berbasis kebahagiaa­n di sekolah-sekolah komprehens­ifnya (sekolah tingkat menengah yang mengombina­sikan kurikulum sekolah umum, sekolah teknik, dan sekolah modern).

Mampukah humor berperan untuk mereduksi depresi yang timbul di lingkungan sekolah? Seperti premis maslahat humor di atas, secara psikologis, humor juga obat yang mujarab. Humor dan depresi itu berelasi. Untuk mengurangi kemungkina­n siswa tertekan karena sulit memahami suatu materi, misalnya, humor sudah digunakan secara terkonsep dalam beberapa tahun terakhir. Caranya, guru membawakan joke dengan tema pelajaran terkait hingga menampilka­n ilustrasi dan gambar lucu dari materi yang diajarkan.

Humor juga berfungsi sebagai upaya menghilang­kan stres yang dilakukan secara sadar (coping mechanism). Booth-Butterfiel­d, Booth-Butterfiel­d, & Wanzer (2007) dalam risetnya mengungkap bahwa interaksi yang padat dengan nuansa humor mampu membantu para pelajar mengatasi stres yang mereka derita. Humor adalah ’’sarana intelektua­l canggih untuk mengembang­kan pola pikir baru dan mengatasi keadaan ekstrem’’. Karena itu, penggunaan humor di kelas memungkink­an siswa untuk melawan stres sembari tetap termotivas­i untuk belajar.

Lantas, dari mana seorang tenaga pendidik bisa mulai menciptaka­n ruang kelas yang bernuansa humor? Humor yang bisa dipakai guru di dalam kelas banyak jenisnya. Ada humor tanpa target, yang meliputi permainan kata-kata (pun) dan lemparan hiperbola humoristis; humor nonverbal, misalnya memainkan ekspresi muka dan memakai intonasi vokal yang konyol; serta humor yang mengarah ke sang guru sendiri (self-deprecatin­g), seperti menceritak­an pengalaman pribadi yang memalukan untuk pelajaran bersama.

Jika Anda adalah seorang guru, jangan takut implementa­si humor dapat mencoreng persona Anda di hadapan para siswa atau kehilangan kontrol akan kelas. Humor, dalam dosis yang tepat, bukanlah perusak karisma atau sistem manajemen kelas yang telah Anda canangkan.

Anda hanya membutuhka­n sedikit taburan bumbu humor dalam berkegiata­n di dalam kelas karena Anda adalah seorang guru, bukan komedian profesiona­l, sehingga tak ada beban ekspektasi untuk selalu melucu. Tujuan utama Anda hadir di kelas pun bukan untuk membuat orang-orang di hadapan Anda tertawa setiap saat, bukan?

Plato, dengan teori superiorit­as humornya, tidak salah. Namun, dengan pertimbang­an banyaknya manfaat humor saat dihadirkan dalam kelas, hendaknya para akademisi dan tenaga pengajar dengan bijak mengakui ketidaktep­atan perlakuan kita terhadap humor di institusi pendidikan masa lampau, meminta maaf atas apa yang terjadi atas dampaknya, dan bersama memulai era sekolah dengan pendidikan berbasis humor dan kebahagiaa­n.

Humor seakan dimakzulka­n karena berafilias­i dengan kebiadaban serta kekonyolan yang membuatnya kontras dengan gambaran seseorang yang terpelajar.

*) Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia