Jawa Pos

Dakwah Milenial ala Pesepak Bola Muslim

-

13 JULI Fans Liverpool, Penulis Buku Muslim Milenial

SEBAGAI seorang fans Liverpool, saya kecewa berat ketika pada 2016 Paul Pogba akhirnya kembali ke klub akademinya, Manchester United, yang juga rival berat Liverpool. Bagaimana tidak, bagi saya, Pogba adalah seorang pesepak bola muslim par excellence. Selain memiliki skill sepak bola di atas rata-rata, kehidupan pribadinya juga amat menarik. Dia sosok yang religius sekaligus sadar mode, stylist. Khas generasi muslim milenial.

Kendati, pada gilirannya kekecewaan itu tertutupi ketika rekrutan Liverpool pada medio 2017, Mohamed Salah, yang tentunya juga seorang muslim, tampil begitu memukau musim lalu. Terlebih, Salah memiliki kesan religius yang lebih kuat; dia membela Mesir, istrinya berjilbab, kerap selebrasi sujud syukur selepas mencetak gol, dia juga senantiasa menyempatk­an diri membaca Alquran di sela-sela kesibukann­ya berlatih dan bermain bola.

Sayangnya, Mesir yang sukses tampil di Piala Dunia pertamanya harus cepat-cepat gugur di fase grup. Tiada lagi kesempatan menyaksika­n kelihaian kaki kiri Salah dan selebrasi sujud syukurnya di fase knockout. Tak heran, fokus saya akhirnya tertuju pada Prancis, tim yang dibela Pogba, yang alhamdulil­lah sukses melenggang ke final dan berkesempa­tan menjadi juara setelah terakhir meraihnya pada 1998, di era Zinedine Zidane, yang juga seorang pesepak bola muslim fenomenal.

Apalagi, Prancis memiliki daya tarik berbeda ketimbang Mesir yang merupakan negara berpendudu­k muslim terbesar di lingkaran Timur Tengah. Prancis adalah negara minoritas muslim di mana umat Islam di negara itu kerap berhadapan dengan Islamofobi­a, lingkungan sekuler, dan kebijakan negara yang tak selalu ramah terhadap kaum imigran. Itulah yang harus dihadapi Pogba (yang merupakan keturunan imigran Guinea) serta anggota timnas Prancis lainnya yang beragama Islam, yaitu N’Golo Kante (Mali), Ousmane Dembele (Mali), Nabil Fekir (Aljazair), Adil Rami (Maroko), Benjamin Mendy (Senegal), dan Djibril Sidibe (Senegal).

Menjadi pesepak bola, harus diakui, adalah salah satu pintu masuk bagi para imigran itu agar lebih diterima dan dipandang oleh pribumi Prancis. Hal itu tak bisa dinafikan lantaran membangun relasi harmonis imigranpri­bumi bukanlah perkara mudah di negara itu. Tragedi Charlie Hebdo, serangkaia­n teror di Paris, hingga insiden truk maut di Nice adalah di antara peristiwa yang tak pelak memicu ketegangan.

Sebab itulah, mengharumk­an nama Prancis di pentas Piala Dunia dapat menjadi kekuatan pemersatu di negara itu sekaligus memperkuat citra imigran muslim Prancis yang berjiwa nasionalis. Bagi saya, itulah dakwah kekinian yang dapat memperinda­h wajah Islam di mata dunia melalui jalur yang lebih populer dan milenial. Jalur dakwah ini justru memiliki pangsa pasar lebih luas karena jangkauan pencinta bola yang bersifat universal dan kosmopolit.

Fenomena inilah yang disebut pakar pemasaran Yuswohady dalam Muslim Zaman Now (2018) dengan mipster atau muslim hipster sebagai the new role model,

teladan baru generasi milenial. Sosok mipster digambarka­n memiliki mindset global, toleran, inklusif, digital-savvy, tapi juga tetap saleh dan religius. Lebih lanjut, tulis Yuswohady, mipster

memadukan antara dimensi faith dan fun (2F), yaitu kombinasi iman dan kegembiraa­n.

Coba kita perhatikan, dari ciri di atas, Pogba bisa disebut sebagai prototipe ideal mipster dalam konteks global. Pogba adalah kombinasi antara faith dan fun.

Dia sangat trendi dan fashionabl­e. Lihat saja gaya rambutnya yang selalu kekinian atau selebrasi dab-nya yang begitu kece. Dia juga pribadi yang inklusif dan sociable, sangat mudah bergaul.

Digital-savvy khas milenial juga begitu lekat pada dirinya. Lihat pula akun Twitter dan Instagramn­ya yang terus up-to-date. Tanpa canggung, dia terkadang membuka ruang dialog dengan follower-nya di media sosial (medsos).

Namun, jangan salah, di balik itu, dia adalah sosok muslim yang saleh dan religius, dan hal itu dia tunjukkan secara terbuka, tanpa merisaukan posisinya sebagai minoritas. Tampak jelas pada sejumlah posting-annya maupun balasan komentarny­a di medsos. Ketika seorang follower bertanya di Twitter, ’’Siapa panutan terbesar dalam hidupmu?’’ Pogba menjawab bahwa panutannya adalah Allah. Sementara lewat

Instagram-nya, Pogba berkalikal­i menunjukka­n aktivitasn­ya saat berada di Makkah, baik saat haji, umrah, maupun salat Tarawih di Masjidilha­ram.

Di salah satu video posting-annya, Pogba menulis caption, ’’Hanya orang yang sudah pergi ke Makkah yang akan tahu rasanya seperti apa. Jadi, saya doakan bagi orang-orang yang belum mengunjung­i Makkah agar bisa datang ke sini suatu hari nanti.’’ Gaya hidupnya yang kekinian juga tidak membuat Pogba melanggar aturan Islam. Misalnya, disiplin Pogba yang mengaku tidak minum alkohol karena hal itu dilarang dalam Islam. Padahal, di Eropa, hal lumrah pesta juara dan kemenangan dirayakan dengan ’’minum-minum’.’

Saya membayangk­an, apabila Prancis benar-benar menjadi juara nantinya, bisa jadi ’’Paul’’ atau ’’Pogba’’ bakal sering dipakai sebagai nama bayi yang lahir dari rahim para ibu milenial di Indonesia, seperti halnya nama ’’Zidane’’ yang sudah sangat sering dipakai oleh para orang tua generasi baby boomers dan generasi X dalam menamai bayi mereka sejak Prancis menjadi juara pada 1998.

 ??  ??
 ??  ?? SUBHAN SETOWARA
SUBHAN SETOWARA

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia