Membiasakan Hidup dengan Melawan Terorisme
LEBIH dari seminggu pelaku bom Bangil Abdullah melarikan diri. Hingga kemarin, polisi belum juga mampu menangkap pria asal Aceh yang pernah ditahan atas kasus terorisme tersebut. Belum tertangkapnya Abdullah dan belum terungkapnya plot jaringannya membuat Surabaya harus waspada.
Mengapa Surabaya? Sebab, selain kabar Abdullah kabur ke Surabaya, konon plot sasaran serangan yang dia rencanakan adalah Surabaya. Sebagai kota besar terdekat, tidak akan terlalu sulit membawa bom tersebut dari Bangil ke Surabaya.
***
Hal itu tentu saja tidak mengenakkan. Menjengkelkan. Membuat marah warga Surabaya. Mengapa jaringan teror tak pernah habishabis. Sudah banyak ditangkap, tetapi masih ada saja. Lebih dari 200 orang ditangkap setelah aksi Dita Oepriarto cs menjelang bulan puasa lalu. Tetapi, ternyata eh... masih ada bom Bangil.
Apalagi, kasus itu menunjukkan bahwa Abdullah tidak bekerja sendirian. Sebagai orang luar daerah, pasti ada yang menunjukkan dia ke Bangil. Itu berarti ada sel yang lain. Wajar jika muncul pertanyaan, ada berapa banyak sebenarnya teroris di Surabaya khususnya, atau Jawa Timur pada umumnya?
Ada banyak faktor untuk menjawab pertanyaan itu. Mulai terbatasnya tenaga aparat untuk memantau lebih dari 5.000 orang yang diduga berpotensi menjadi teroris, lalu kian pintarnya para teroris menutupi selnya (di jaringan mereka, manual buku mengenai bagaimana menghadapi interogasi polisi, membuat bom, hingga bagaimana cara kabur sudah tersebar luas), dan kondisi eksternal seperti sosial masyarakat, serta kondisi di Timur Tengah. Namun, tulisan ini bukan untuk membahas apa penyebabnya, yang memang kompleks.
Daripada berpikir bahwa tidak ada teroris di sekitar kita, mending sekalian terima fakta saja bahwa kita hidup dengan banyak orang yang berpotensi menjadi teroris di sekitar kita. Di Surabaya setidaknya terdapat lebih dari 200 mantan combatant yang punya kemampuan
KARDONO
Jurnalis Jawa Pos
tempur lumayan. Dalam pengertian, mereka sangat mampu membuat aksi di atas aksi teror Dita cs.
Sekali lagi, itu jumlah orang yang berkategori mantan combatant
yang sudah insyaf. Populasi mereka yang militan dan baru menekuni dunia teror bisa jadi jauh lebih besar. Dengan fakta di atas, kita warga Surabaya harus menerima bahwa kita hidup dengan orangorang yang seperti itu.
Namun, tulisan ini bukan untuk membuat khawatir warga. Sebab, di dunia ini hampir tidak ada kawasan yang steril dari ancaman terorisme. Rusia yang terkenal sangat ketat toh juga kecolongan aksi terorisme. Anggap saja seperti seseorang yang terkena diabetes dan harus menjaga betul gaya hidup seumur hidupnya.
Begitu pula halnya dengan terorisme. Meski ancaman tersebut terus ada sepanjang hayat, setidaknya sebagai masyarakat kita bisa meminimalkan potensi ancamannya. Yang pertama dilakukan adalah memahami apa itu terorisme dan ciri-cirinya. Jadi, misalnya, ketika ada operasi yustisi dari aparat atau kebijakan tertentu, jangan lantas menganggap itu sebagai ancaman terhadap agama tertentu. Atau memolitisasinya dan menyebut itu ketidaksukaan pemerintah terhadap satu agama. Termakan isu-isu seperti itu akan makin menyulitkan pemerintah dalam menangani masalah terorisme.
Di Surabaya beberapa hari terakhir ini kerap tim gabungan tiga pilar melakukan operasi yustisi. Itu sebuah langkah yang sangat penting. Sebab, penyisiran identitas akan menyempitkan ruang pelaku terorisme. Salah satu ciri teroris adalah kesukaannya terhadap sebuah kawasan yang kacau, tidak teratur, dan identifikasi perorangannya sulit. Pendek kata, pelaku terorisme bersembunyi di gelap-gelap. Nah, operasi yustisi yang dilakukan jangan dipahami sebagai upaya mencari-cari oknum aparat. Tetapi, itu upaya untuk menerangi tempat-tempat yang gelap.
Selain itu, kita bisa juga membantu aparat dengan meningkatkan sensitivitas di lingkungan sekitar. Hampir semua tetangga para teroris yang ditangkap selalu bilang tidak pernah menyangka bahwa si A adalah teroris. Baru tahu setelah kejadian.
Lebih dari itu, yang penting adalah penyebaran pemahaman bahwa terorisme adalah musuh semua. Musuh semua agama. Zero tolerance untuk para bajingan pengecut yang tidak peduli nyawa manusia untuk kepentingannya itu. Dengan punya satu visi yang sama, masyarakat Surabaya pasti tidak akan pernah tumbang oleh terorisme. (*)