BAHAYA SUDAH MERASA JUARA
MOSKOW – Seandainya Stadion Luzhniki, Moskow, mampu menampung 4,5 juta penonton, Ivan Rakitic yakin semua kursi bakal terisi. Oleh para pendukung Kroasia dalam final Piala Dunia 2018 melawan Prancis malam ini
”Final ini bukan sekadar tentang 23 pemain dan para staf, melainkan 4,5 juta warga Kroasia,” kata gelandang Kroasia tersebut dengan penuh gelora dalam jumpa pers kemarin (14/7) seperti dikutip Daily Telegraph.
Campur aduk antara antusiasme, kebanggaan, dan nasionalisme itu bisa dipahami. Sebab, inilah untuk kali pertama negeri yang baru memproklamasikan kemerdekaan pada 8 Oktober 1991 tersebut lolos ke final Piala Dunia.
Piala Dunia adalah ajang sepak bola terbesar sejagat. Ajang yang paling menyedot perhatian warga bumi. Dan Kroasia, negeri liliput di kawasan Balkan yang penduduknya cuma separo Jakarta itu, bisa sampai ke partai puncak.
Kroasia bahkan merupakan wakil Eropa Timur pertama yang bisa sampai ke partai puncak Piala Dunia dalam hampir enam dekade terakhir. Atau sejak Cekoslovakia melakukannya pada edisi 1962. Yang berakhir dengan kekalahan 1-3 di hadapan Brasil.
Selain itu, inilah kesempatan terbaik membalas kekalahan dari Prancis di semifinal ajang yang sama dua dekade silam. Les Bleus –julukan timnas Prancis– ketika itu bablas menjadi juara dunia 1998. Gelar Piala Dunia pertama sekaligus satusatunya Negeri Anggur tersebut sampai sekarang.
”Kalian harus merasakan bagaimana memuncaknya kebahagiaan warga Kroasia dalam satu bulan terakhir. Kesenangan, kebersamaan, dan kebanggaan bercampur menjadi satu,” ungkap gelandang yang bermain di Barcelona itu.
Rakitic memang sedang membangkitkan nasionalisme suporter Kroasia melalui sepak bola. Seperti ditulis Franklin Foer di How Soccer Explains The World, sepak bola di Balkan memang tidak bisa lepas dari faktor politik, sosial, budaya, atau ismeisme lainnya.
Di final, saat kekuatan teknis lini per lini kedua tim demikian berimbang, spirit menggelora memang penting. Bisa menutupi berbagai kelemahan. Termasuk kelelahan yang teramat sangat.
Sebab, Kroasia lolos ke final dengan cara yang jauh lebih meletihkan ketimbang Prancis. Kalau Les Bleus hanya membutuhkan 90 menit untuk memenangi semua laga, mulai 16 besar sampai semifinal, Vatreni –julukan timnas Kroasia– sebaliknya. Laga 16 besar dan perempat final harus diakhiri dengan adu penalti. Sedangkan di semifinal Kroasia dipaksa bermain sampai perpanjangan waktu.
”Saya tak berkata bahwa spirit menang kami lebih superior daripada Prancis maupun Rusia. Kami memiliki ikatan yang unik. Ketika mengenakan jersey Kroasia, kami akan melakukan apa pun agar nama bangsa ini harum,” ucap Rakitic.
Kroasia maupun Prancis diprediksi memakai formasi 4-23-1 sebagai senjata andalan. Kekuatan kedua tim sangat berimbang di semua lini. Mulai kiper sampai penyerang. Prancis dan kiper Hugo Lloris kebobolan satu gol lebih sedikit. Hanya jebol empat kali dalam lima pertandingan. Di sektor belakang, dua pemain yang menjadi finalis Liga Champions 2017–2018 akan kembali berseteru. Raphael Varane, bek Prancis dan Real Madrid, akan beradu tangguh dengan Dejan Lovren, bek Kroasia dan Liverpool.
Pertarungan sengit tak terhindarkan di lini tengah. Ivan Rakitic dan Luka Modric sudah pasti menjadi motor serangan buat Kroasia. Keduanya sama-sama dinamis, pintar mengatur tempo, dan presisi dalam melepas umpan.
Tapi, poros ganda N’Golo Kante dan Paul Pogba juga kian solid, terutama sejak memasuki fase gugur. Mereka jago menghentikan serangan lawan. Sekaligus piawai mengawali serangan ke pertahanan lawan. ”Tanpa ragu saya akan menyebut (N’Golo) Kante sebagai pemain terbaik Prancis di turnamen Piala Dunia ini. Perannya menyetop bola dan kemu- dian menyodorkan kepada pemain lain tak tergantikan,” tutur pundit BBC Alan Shearer.
Di unit penyerangan, Prancis mengandalkan trio Kylian Mbappe-Antoine Griezmann-Blaise Matuidi sebagai bayang-bayang penyerang Olivier Giroud. Kelenturan serta kecepatan trio Mbappe-Griezmann-Matuidi sejauh ini sudah menghasilkan enam gol buat Prancis.
Di kubu Kroasia, dua winger mereka, Ante Rebic di kanan dan Ivan Perisic di kiri, menghadirkan kedinamisan. Perisic yang menjadi man of the match di semifinal ketika melawan Inggris merupakan winger yang cepat, tak gampang jatuh, dan bernaluri gol tinggi. Pemain Inter Milan yang diincar Manchester United tersebut telah mengoleksi tiga gol.
Dengan perimbangan seperti itu, kesalahan-kesalahan kecil bakal menentukan. Bursa Asian Handicap memang mengunggulkan Prancis dengan voor ½. Tapi, Euro 2016 bisa jadi tempat berkaca Prancis.
Berstatus tuan rumah, berhasil mengandaskan juara dunia Jerman di semifinal, di final Les Bleus malah menyerah 0-1 kepada Portugal yang lolos ke fase gugur tanpa sekali pun mencatat kemenangan di fase grup.
”Kami berpikir sudah menang sebelum kami ada di final (di Euro 2016, Red). Kami mengalahkan Jerman di semifinal yang membuat kami berpikir kami sudah juara. Padahal, itu sama sekali tak benar,” kata Pogba seperti dikutip The Guardian.
Tapi, bahaya yang sama juga mengintip Kroasia. Berhasil masuk ke final adalah capaian terbaik mereka. Sudah serasa juara. Dari sini, antiklimaks bisa muncul.
Sudahkah Prancis belajar dari kesalahan itu sehingga bisa kembali merebut gelar? Atau Kroasia yang malah bisa menahan eforia mereka dan baru meledakkannya di final sehingga lahir juara baru?