Hampir Dilindas Tank AS saat Bertugas di Iraq
Iswiyanti Widyawati, Relawan Dokter di Negara Konflik
Biasanya, orang menghindari daerah konflik. Pergi sejauhjauhnya. Tapi, Iswiyanti Widyawati tidak begitu. Ketika ada kabar relawan dibutuhkan, dia langsung mendaftarkan diri. Iraq, Lebanon, dan Palestina menjadi tempat Iswiyanti mengamalkan pengetahuan medisnya.
SEJAK masih kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, kehidupan Iswiyanti Widyawati memang tidak bisa jauh-jauh dari dunia sosial. Selain sibuk kuliah, dia aktif ikut kegiatan amal bersama teman-temannya. Itu pula yang membuatnya bergabung bersama Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).
Terhitung sudah tiga negara yang telah merasakan ilmu dan tenaganya. ’’Ilmu dan kemampuan saya akan lebih dibutuhkan di sana daripada di sini,’’ ujar Iswiyanti saat ditemui di rumahnya kemarin (15/7). Keberangkatannya ke negara konflik dimulai pada 2003. Saat itu BSMI akan mengirim dokter dari Indonesia menuju Iraq. Di sana mereka akan diperbantukan sebagai tenaga medis. Membantu pengobatan masyarakat sipil memperoleh layanan kesehatan.
Awalnya, hanya suaminya, dr Arief Basuki SpAn, yang akan berangkat. Namun, ada dorongan lain yang membuat Iswi tergerak ikut pergi dan meninggalkan empat anak mereka yang masih kecil-kecil. Yang paling besar berusia 12 tahun dan si bungsu waktu itu berusia 8 tahun. Tapi, karena masa tugasnya hanya sebulan, dia tatag menitipkan mereka ke keluarga.
Di sana Iswi ditempatkan di sebuah rumah sakit bersama tim dokter BSMI yang lain. Perang telah banyak mengubah wajah Iraq yang dulu bisa dikatakan maju
’’Di sana kami harus bekerja dengan fasilitas minimal, namun dituntut kerja maksimal,’’ ujar perempuan yang kini memiliki enam anak tersebut.
Banyak fasilitas rumah sakit yang rusak. Tenaga medis minim, tapi yang membutuhkan perawatan banyak. Suara dentuman dan tembakan sudah biasa mengiringi Iswi yang sedang mengabdi. ’’Di saat tenaga medis di sana banyak yang lari keluar menghindari konflik, kita malah datang ke daerah konflik,’’ kenang Iswi. Saking sibuknya memberikan pelayanan, suara tembakan dan ledakan sudah dianggap biasa.
Iswi pun sempat merasakan tegang dan kerasnya kehidupan di sana. Mobil yang ditumpangi hampir saja terlindas tank milik tentara Amerika yang melintas. ’’Saat itu ada tank melintas, dia tidak mau mengalah. Padahal, jalannya sempit,’’ ungkapnya.
Pengabdiannya berlanjut tiga tahun kemudian. Pada 2006, dia dan suaminya kembali berangkat ke Lebanon. Kali ini targetnya memberi bantuan ke pengungsian Palestina di negara tersebut sejak 1967. ’’Sebulan kami berada di kamp pengungsian Palestina,’’ ujarnya.
Kondisi pengungsian begitu memprihatinkan. Belum ada bangunan permanen. Semuanya masih berupa tenda. Pasokan listrik dan air minim. Pengungsi harus pintar-pintar berhemat.
Tiga tahun berikutnya, tepatnya 2009, dia dan suaminya kembali dikirim ke Palestina. Berbeda dengan lokasi lain, kali ini mereka berada di wilayah yang tengah berkonflik. Tepatnya di Jalur Gaza. Mereka ditempatkan di rumah sakit yang didirikan sebuah badan amal internasional.
Iswi mengatakan, masuk ke Palestina sangatlah sulit. Aturannya ketat. Saat itu rombongan melalui Mesir untuk menuju Palestina. ’’Meskipun dokumen kami sudah lengkap, tetap saja butuh proses yang sangat panjang,’’ katanya.
Iswi kagum dengan semangat orang-orang di sana. Anak-anak bebas bermain walaupun bisa saja sewaktu-waktu ada rudal yang mendarat. ’’Seolah tidak terjadi konflik,’’ katanya. Begitu juga dengan pemandangan anak-anak yang kehilangan anggota badan seperti kaki dan tangan. Itu sudah menjadi pemandangan biasa. ’’Namun, tetap saja tidak ada rasa takut di wajah mereka,’’ katanya.
Meskipun sering dikirim ke daerah konflik sebagai relawan, tidak sekali pun dia takut. ’’Bagi saya, mau di medan perang atau daerah aman, kalau memang sudah waktunya mati, ya mati. Semua sudah digariskan,’’ ujar perempuan yang sehari-hari bekerja di Rumah Sakit Lombok 22 Surabaya tersebut.
Setelah selesai dengan pengabdiannya di dunia medis, dia berfokus di dunia pendidikan. Dia kembali aktif di Yayasan Harapan Muslimah yang didirikan bersama temantemannya pada 1997. Yayasan itu bergerak di bidang pendidikan. Salah satunya TK dengan konsep 1 profit 1 binaan. Saat yayasan tersebut mendirikan satu TK untuk umum, ada satu TK yang dibangun khusus untuk kegiatan sosial. ’’Saat ini TK binaan ada di Kalilom. Sementara TK umum ada di Ngagel,’’ ujar Iswi yang juga menjadi ketua yayasan itu.