Rupiah Terlemah sejak Oktober 2015
Sentuh Level 14.545, Pemerintah Anggap Biasa
JAKARTA – Pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS (USD) makin mengkhawatirkan. Mengutip Bloomberg, kemarin (20/7) rupiah dibuka di level 14.477 per USD. Kurs tersebut melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang bertengger di angka 14.432 per USD. Mata uang garuda itu pun sempat menyentuh level 14.545 per USD J
Nilai tukar rupiah tersebut merupakan level terendah sejak Oktober 2015. Level 14.545 per USD terjadi pasca pengumuman Bank Indonesia (BI) 7-day reverse repo rate yang ditahan di angka 5,25 persen.
Sementara itu, berdasar kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI, nilai tukar rupiah terhadap USD kemarin mencapai level 14.520. Kurs tersebut melonjak naik jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan Kamis (19/7), saat rupiah berada di level 14.418 per USD.
Dengan kondisi rupiah yang terus tertekan, BI segera melakukan intervensi. Alhasil, pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah menguat tipis 14.495 per USD. ”BI berada di pasar dan secara proaktif melakukan intervensi ganda di pasar valas dan SBN (surat berharga negara) sedemikian rupa sehingga nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari ini (kemarin, Red) berhasil ditutup di bawah level 14.500 per dolar (AS),” jelas ekonom Bank Permata Josua Pardede kepada koran ini kemarin.
Josua melanjutkan, pelemahan kurs rupiah yang sempat melewati level 14.500 per USD dipengaruhi pelemahan nilai tukar yuan Tiongkok setelah kemarin bank sentral Tiongkok memperlemah Yuan. Dampaknya, Yuan melemah terhadap dolar AS ke level terendah dalam satu tahun terakhir. Kebijakan tersebut diambil untuk merespons proses negosiasi antara pemerintah AS dan Tiongkok terkait isu perang dagang yang belum menemukan solusi. ”Pelemahan yuan tersebut mendorong sentimen negatif di pasar keuangan negara berkembang yang selanjutnya mendorong pelemahan nilai tukar mata uang Asia, termasuk rupiah,” lanjutnya.
Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Eric Alexander Sugandi menguraikan, selain faktor eksternal, yakni pelemahan yuan, ada sejumlah faktor domestik yang menyebabkan pelemahan rupiah. Di antaranya, adanya risiko tekanan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, kemudian adanya pengetatan likuiditas valas di bank-bank BUKU (bank umum kelompok usaha) 3 dan 4, sehingga mendorong peningkatan demand
korporasi terhadap USD untuk berjaga-jaga. ”Selain itu, ada risiko peningkatan current account deficit (CAD) dan signifikannya penguasaan asing di SBN dan saham, sehingga rupiah rentan terhadap capital outflows (aliran dana keluar),” paparnya kemarin.
Eric pun menilai, keputusan BI mempertahankan suku bunga acuannya adalah langkah yang tepat. Sebab, keuntungan dari kenaikan BI rate dalam mempertahankan rupiah tidak sebesar cost pada pertumbuhan ekonomi. Dia mengakui, tekanan eksternal akan tetap ada, tapi tekanan akibat dari persepsi pelaku pasar bersifat temporer. Dengan demikian, BI tidak perlu reaktif dengan terus menaikkan suku bunga. ”Kenaikan 100 basis point
total sebelumnya untuk sementara sudah cukup,” imbuhnya.
Deputi Gubernur BI Erwin Ri- janto menekankan bahwa pihaknya tidak pernah menargetkan rupiah berada di level tertentu. Sebab, pihaknya mengikuti mekanisme pasar. Pelemahan tidak hanya dialami Indonesia, tapi juga negara-negara lainnya. Di antaranya, Meksiko, Tiongkok, India, Singapura, Rusia, dan Afrika Selatan. ”Coba dilihat apakah kita (rupiah) melemah sendiri atau tidak, kalau seluruh dunia itu melemah against (terhadap) dolar AS, ya mestinya thats it, karena memang itu kan semuanya,” jelasnya saat ditemui di gedung JCC kemarin.
Erwin menegaskan, pelemahan rupiah tidak dipicu faktor domestik, tapi eksternal, khususnya terkait sikap Presiden AS Donald Trump yang mengkritik kebijakan The Fed yang akan menaikkan suku bunga. Sikap yang bertentangan antara keduanya tersebut berdampak pada ketidakpastian global yang akhirnya berimbas pada pelemahan sejumlah mata uang di negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
”Problemnya itu adalah Mr Trump yang membuat pernyataan berlawanan dengan Fed-nya. Kemudian, di China itu melakukan devaluasi, berkaitan dengan trade war itu. Nah, ini seluruhnya (mata uang melemah), ya memang itulah keadaan dunia itu saat ini, si Amerika lagi berdaya dan adikuasa,” tegasnya.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah tidak perlu dianggap sebagai hal yang luar biasa. Dia menilai, fluktuasi nilai tukar yang meroket memang kadang terjadi secara harian. Namun, terkadang juga menurun. ”Perubahan harian memang kadang-kadang gak tinggi. Tidak perlu menganggap itu sesuatu yang luar biasa terjadi,” ujarnya kemarin (20/7).
Darmin menambahkan, pelemahan cukup tajam yang dialami rupiah kemarin disebabkan pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell yang menyebut akan menaikkan bunga acuan Fed rate. Itu menyusul kondisi makroekonomi AS yang terus membaik. Namun, dia yakin BI juga akan mengambil langkah-langkah antisipasi untuk melawan kebijakan tersebut dengan menaikkan suku bunga.