Jawa Pos

Saya Lihat Tanda-Tanda Alam Dulu, Baru Melaju

Testimoni Dirman, Nakhoda Kapal Joko Berek

-

TIAP kali akan melintasi Plawangan yang dikenal sebagai jalur maut, saya, sebagaiman­a juga para nelayan Puger yang lain, selalu melihat tandatanda alam. Berupa dua batu di sisi kanan

Begitu pula pada Kamis pagi lalu (19/7) itu. Batu yang disebut batu gelinding itu media kami, para nelayan, untuk membaca alam. Jika ada empasan air berbusa, bisa dipastikan ombak akan besar. Pada saat begitu, kami para nakhoda akan menahan laju perahu.

Saya sudah melaut sejak umur 14 tahun. Sudah tak terhitung berapa kali bisa melewati jalur Plawangan itu. Selain batu gelinding, tanda lainnya adalah pasang dan surutnya air laut. Biasanya air surut terjadi pukul 07.00 hingga 09.00. Selebihnya, air akan mulai pasang. Momen seperti itulah yang biasanya ditunggu nelayan untuk memacu perahunya menerjang jalur Plawangan.

Ketika itu masih sekitar pukul 08.00. Tanda-tanda alam lain yang saya baca pada Kamis pagi lalu menunjukka­n perahu bisa saya pacu. Maka, melajulah kami.

Dan bermulalah musibah itu. Saya sungguh tak menyangka perahu bakal terempas. Oleng. Padahal, air laut tengah surut.

Dalam kondisi demikian, saya yang memegang kemudi di bagian atas kapal berusaha sekuat tenaga agar perahu tetap seimbang.

Kapal yang mulai miring ke kanan membuat para pendega atau anak buah kapal (ABK) panik. Mereka berhambura­n mencari pegangan. Sebagian bergelantu­ngan. Sebagian lagi memegang tiang. Saya terus berupaya mengendali­kan laju kapal agar stabil.

Tapi, usaha itu sia-sia. Saya jatuh. Perahu terbalik dan badan saya kemudian terjepit perahu.

Pada detik-detik itu, saya hanya bisa pasrah. Rela seandainya nyawa saya tercabut. Tapi, takdir rupanya berkata lain. Ada gelombang yang kembali menerjang lambung kapal. Kayu yang menjepit kaki kiri saya koyak.

Persoalan belum selesai. Tubuh saya masih terjebak di dalam kapal yang terbalik. Hingga kemudian ada empasan ombak kedua yang bisa membukakan celah. Dengan sekuat tenaga saya manfaatkan itu untuk keluar dari lambung kapal. Lalu, dengan tenaga tersisa, saya berenang menepi. Tapi, sebelumnya jaket yang saya pakai dilepas dulu. Beruntung jaket itu tidak nyantol ke jaring atau kayu.

Setiba di tepi, saya tak ingat apa-apa lagi. Sampai ketika saya sadar, sudah berada di Klinik Graha Puger.

Sungguh, itu hari yang nahas. Tangkapan tak banyak meski kami sudah melaut sampai perairan Banyuwangi. Dan, saya harus kehilangan banyak kawan baik. (*/sebagaiman­a disarikan wartawan Jawa Pos Radar Jember Mahrus Sholih/c5/ttg) *) Kapal Joko Berek tenggelam di jalur Plawangan, Puger, Jember, Kamis (19/7).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia