Perkuat Industri Sektor Hulu
Kurangi Ketergantungan Impor Bahan Baku
JAKARTA – Pelemahan nilai tukar rupiah yang berlanjut membuat pelaku bisnis di sektor perdagangan dan industri waswas. Terutama usaha yang banyak mengandalkan bahan baku dari impor.
Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia Achmad Widjaja mengungkapkan, pelaku usaha mengkhawatirkan pergerakan nilai rupiah yang kini menyentuh level 14.500. Hal itu sangat berbahaya, khususnya bagi industri olahan.
Memasuki semester kedua tahun ini, lanjut dia, pemerintah perlu menentukan langkah strategis. Dari pengalaman pada semester pertama, pihaknya berharap pemerintah mulai lebih serius memperhatikan industri hulu. Terutama untuk men-develop industri yang bisa menyuplai bahan baku untuk industri lainnya. ”Industri kita bergantung pada impor bahan baku yang banyak sekali. Jika terjadi pelemahan rupiah, banyak sektor yang ketir-ketir,” ujar Widjaja saat ditemui di Hotel Gran Melia Jakarta kemarin (20/7).
Widjaja menganggap pemerintah belum mengerjakan pekerjaan rumah untuk mengembangkan industri hulu. Menurut dia, Indonesia cenderung lebih memilih jalan pintas berupa impor daripada menata industri di hulu.
Salah satu industri hulu yang cukup vital perannya untuk dikembangkan, menurut pelaku usaha, adalah sektor industri petrochemical. Sebab, industri tersebut memiliki banyak sekali turunan yang bisa dimanfaatkan industri lain. ”Perusahaan besar seperti Chandra Asri, Petrokimia di Gresik, itu masih punya potensi untuk dikembangkan. Tentu kita tak mau impor terus-terusan 70 persen kan,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian global, misi meningkatkan ekspor agar daya saing Indonesia semakin kuat memang benar. Namun, kata Widjaja, jika tidak diimbangi dengan strategi mengurangi impor, hal itu sulit dilakukan. ”Tidak usah jauh-jauh, dengan negara sesama ASEAN saja daya saing kita belum cukup kuat. Impor masih tinggi, harga gas juga lebih mahal,” urainya.
Dia menyarankan pemerintah tidak terlalu memproteksi industri secara ketat. Artinya, industri dibiarkan berkembang tanpa terlalu banyak dimanjakan dengan proteksi tarif supaya lebih resisten saat menghadapi risiko-risiko seperti yang terjadi pada awal tahun ini. ”Kita lihat tekstil, alas kaki, plastik, mereka dilepas. Tapi, perkembangannya justru bagus,” ujar Widjaja.
Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, untuk mengantisipasi penurunan ekspor, pemerintah disarankan terus mencari pasar nontradisional. Misalnya, pasar Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Lana sepakat industri dalam negeri perlu dibangun dari hulu ke hilir.