Lapas Super Maximum Security untuk Koruptor
Direktur eksekutif Center for Detention Studies
OPERASI tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Kalapas Sukamiskin Wahid Husen membuka realitas penjara kita. Kebetulan, saya bersama teman-teman Center for Detention Studies (CDS) pada 2014 pernah memotret realitas tersebut
Juga, Lapas Sukamiskin termasuk yang kami teliti waktu itu.
Penelitian kami waktu itu terkait dengan survei kualitas layanan pemasyarakatan. Lapas Sukamiskin masuk periode kedua penelitian yang kami lakukan saat itu. Total, ada 16 lapas yang kami teliti waktu itu. Survei yang kami lakukan saat itu terkait dengan banyak hal. Mulai penyediaan makanan dan minuman (mamin) serta pakaian untuk napi hingga praktik pungutan liar atau pungli.
Dari responden (napi) yang kami tanyai waktu itu, untuk aspek penyediaan makanan, banyak yang merasa kurang layak. Akhirnya, mereka memesan makanan dari luar.
Soal pungli, hampir semua responden mengaku pernah dimintai uang. Entah oleh petugas atau antarnapi sendiri. Entah itu untuk penempatan ruang, pindah kamar, kegiatan hari besar, dan yang berhubungan dengan kunjungan. Jadi, seperti di lapas-lapas lain, praktik pungli di Sukamiskin sudah berlangsung lama.
Padahal, seharusnya petugaspetugas yang ditempatkan di Lapas Sukamiskin melalui assessment khusus. Sebab, yang mereka hadapi bukan hanya orang berduit, tapi juga orang-orang yang punya pengaruh politik.
Kasus OTT mungkin bisa menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk memperbaiki kualitas pemasyarakatan bagi napi-napi kasus korupsi. Mungkin sudah saatnya napi-napi kasus korupsi, terutama yang punya pengaruh besar, ditempatkan di lapas yang berlabel super maximum security. Atau satu level di bawahnya, maximum security. Pengamanan harus dibuat superketat. Pengawasan bahkan harus bisa dimonitor dari pusat. Itulah yang tidak terjadi di Sukamiskin saat ini.
Saya menilai pengamanan di Sukamiskin sejauh ini lemah sekali. Seharusnya, SOP (standard operating procedure) lapas super maximum security diterapkan di sana. Misalnya, pengurangan pertemuan fisik antara petugas keamanan dan napi.
Di luar negeri, lapas-lapas super maximum maupun maximum security menerapkan seperti itu. Petugas keamanan ngobrol dengan napi dari balik jeruji besi. Hal seperti itu sudah menjadi standar internasional. Di Indonesia, hal semacam itu mulai dilakukan di Lapas Pasir Putih dan Lapas Batu di Nusakambangan. Hanya, yang ada di sana merupakan napi teroris dan napi kasus narkoba kelas kakap. Nah, seharusnya perlakuan yang sama diberikan untuk napi kasus korupsi.
Ke depan, Ditjen Pemasyarakatan harus sudah perlu membuat klasifikasi napi kasus korupsi. Mana yang harus dimasukkan ke penjara medium, maximum, atau super maximum security. Penilaian itu bisa didasarkan pada tingkat hukuman dan profil orang tersebut.
Saya menilai, selama ini yang terjadi di Lapas Sukamiskin dan kebanyakan lapas lain, penilaian terhadap perilaku napi masih berdasar subjektivitas. Bukan objektivitas. Misalnya saja soal berobat ke luar lapas. Padahal, sejak 2012 sudah ada SOP untuk hal tersebut. Siapa pun napinya, kalau mengajukan permohonan berobat ke luar lapas, harus ada second opinion dari dokter yang ditunjuk Ikatan Dokter Indonesia.
Terakhir, Ditjen Pemasyarakatan juga harus membuat SOP yang berkaitan dengan transparansi. Misalnya terkait berobat ke luar rutan maupun pemindahan kamar untuk napi kasus korupsi. Sejauh yang saya tahu, hal itu sebenarnya sudah dilakukan untuk napi-napi kasus terorisme dan narkoba.
Ketika ada permintaan berobat ke luar rutan atau pemindahan kamar, lapas akan berkoordinasi dengan BNPT atau Densus untuk napi kasus terorisme. Juga berkoordinasi dengan BNN atau Mabes Polri untuk napi kasus narkoba. Rasanya, saya tidak melihat itu terjadi kepada napinapi kasus korupsi. Padahal, transparansi itu sangat perlu. Misalnya dengan memperlihatkan kepada KPK atau publik.