Dilema Polisi Amankan Asian Games
Asian Games adalah event akbar yang menjadi pertaruhan Indonesia di dunia internasional. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menjamin kelancaran acara dan keselamatan para tamu dari sejumlah negara. Itu dilakukan agar pesta olahraga terbesar di Asia tersebut tidak ternodai aksi kriminal yang berisiko mencoreng nama baik Indonesia.
DI DKI Jakarta, pemerintah tidak hanya menggusur para PKL yang dianggap bisa mengganggu keindahan kota. Mereka juga menyasar para penjahat yang dikhawatirkan mengancam keselamatan masyarakat dan peserta yang hadir.
Dalam operasi yang melibatkan 1.000 personel kepolisian, sejumlah titik rawan kejahatan, jalan raya, stasiun, terminal, dan pusat belanja yang selama ini diketahui tergolong rawan kejahatan terus disasar.
Hingga 12 Juli, dilaporkan bahwa Polda Metro Jaya telah menangkap 1.952 orang yang diduga pelaku kriminal. Sebanyak 320 orang di antara mereka ditahan dengan berbagai tuduhan kejahatan jalanan. Mulai penjambretan, penganiayaan, hingga penyalahgunaan narkotika. Dilaporkan juga bahwa polisi terpaksa menembak 52 orang yang melawan atau mencoba kabur ketika ditangkap. Sebelas orang di antara mereka tewas. Salah satunya adalah anggota geng Tenda Oranye, komplotan perampok yang kerap berope- rasi di wilayah Jakarta Barat.
Dilema Menjelang Asian Games pada 18 Agustus, suasana DKI Jakarta tampak makin kondusif. Para penjahat jalanan yang biasanya kerap berbuat ulah membahayakan masyarakat dalam sebulan terakhir tiarap.
Polri tidak menampik adanya operasi besar-besaran untuk memberantas kejahatan jalanan dan terorisme menjelang perhelatan di Jakarta dan Palembang yang rencananya dihadiri 26 kepala negara tersebut.
Tindakan tegas dan keberhasilan aparat kepolisian menjamin keamanan masyarakat dan peserta dari negara sahabat tentu patut diapresiasi. Hanya, tindakan tegas aparat yang menembak dan menewaskan sejumlah penjahat dipersoalkan sejumlah kalangan.
Tindakan represif aparat menembak mati sejumlah penjahat dikritik kebablasan. Sebab, polisi memiliki kewenangan yang seharusnya lebih memprioritaskan tindakan melumpuhkan daripada mematikan.
Di mata aparat kepolisian, rupanya ancaman sekecil apa pun dalam penyelenggaraan Asian Games tidak akan ditoleransi. Kepolisian, tampak- nya, telah memahami bahwa tindakan tegas yang mereka lakukan terhadap sejumlah penjahat yang melawan petugas berisiko mengundang kritik.
Tetapi, bersikap lunak terhadap ulah penjahat yang sudah benarbenar meresahkan tentu bukan pilihan yang menguntungkan petugas maupun masyarakat luas.
Dilema yang kini dihadapi aparat kepolisian adalah tetap melanjutkan kebijakan repressive policing terhadap gangguan keamanan dan ketenteraman masyarakat, ataukah sedikit menarik diri mempertimbangkan kritik dari pihak-pihak tertentu yang menilai mereka telah melanggar hak asasi manusia.
Bagi aparat kepolisian, pilihan mana yang harus dikembangkan ke depan tentu bukan hal yang mudah.
Kontinuitas Memastikan agar perhelatan Asian Games bebas dari gangguan dan aksi kriminal yang meresahkan masyarakat saat ini memang menjadi tanggung jawab aparat kepolisian. Namun, harapan sejumlah kalangan yang menyarankan polisi mengendurkan tensi aksi represifnya tentu juga harus dilihat sebagai masukan yang berharga.
Aksi yang intensif, tindakan razia, serta perburuan terhadap para preman, begal, dan penjahat yang membahayakan, mau tidak mau, memang akan menghadapkan polisi kepada pertarungan yang berisiko. Pokok persoalannya di sini menurut saya bukan pada perlu atau tidaknya tindakan yang represif dan terukur dilakukan polisi saat ini, tetapi lebih kepada tindak lanjut seperti apakah yang seharusnya dilakukan ke depan pasca berakhirnya perhelatan Asian Games?
Menciptakan situasi yang kondusif dan menjamin keselamatan masyarakat dari ulah penjahat sesungguhnya tidak mungkin dilakukan secara instan dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Meningkatkan intensitas operasi menyongsong event Asian Games hanyalah momentum sesaat. Justru yang lebih penting ke depan adalah bagaimana aparat kepolisian mengembangkan program jangka menengah dan jangka panjang untuk menjamin kontinuitas situasi kondusif yang berhasil dibangun.
Jangan sampai terjadi upaya polisi merazia para penjahat itu hanya dilakukan ’’hangat-hangat tahi ayam’.’ Sementara itu, begitu Asian Games selesai, upaya polisi menegakkan hukum kembali kendur karena tidak ada dukungan dana dan komitmen yang memadai. *) Guru Besar, Dosen Kriminalitas dan Masalah Sosial di Prodi S-2 Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) Universitas Airlangga.
Tindakan tegas terhadap sejumlah penjahat yang melawan petugas berisiko mengundang kritik. Tetapi, bersikap lunak terhadap ulah penjahat yang sudah benarbenar meresahkan tentu bukan pilihan yang menguntungkan petugas maupun masyarakat luas.