186 Rumah Sakit Stop Layanan Fisioterapi
Pengidap Kanker Payudara Gugat Presiden dan Menkes
JAKARTA – Dampak dikeluarkannya peraturan direktur jaminan pelayanan kesehatan (perdiyan) BPJS Kesehatan sudah mulai dirasakan. Sebanyak 186 rumah sakit (RS) yang memiliki layanan fisioterapi untuk pasien BPJS Kesehatan mulai kemarin (27/7) pukul 18.00 berhenti melayani
Sejak Kamis lalu (26/7) Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) menginstruksi anggotanya untuk tidak melakukan layanan fisioterapi bagi pasien BPJS Kesehatan. Layanan tersebut berhenti hingga waktu yang tidak ditentukan.
Ketua IFI pusat M. Ali Imron menyatakan, surat yang ditandatanganinya itu dimaksudkan untuk menyikapi Perdiyan BPJS Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018. Dia mengatakan, BPJS Kesehatan seolah ingin menghilangkan layanan fisioterapi.
”Di situlah ketersesatan terjadi. Potensi fraud (kecurangan, Red) besar,” ungkapnya.
Tidak mencukupinya jumlah dokter rehabilitasi medik di tanah air, menurut Imron, bisa membuat kecurangan terjadi. Dia pernah menemukan satu dokter rehab medik di Jakarta yang memiliki lima tempat praktik. ”Datang hanya tanda tangan blangko BPJS,” ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin. Padahal, untuk RS tipe C, biaya jasa dokter spesialis Rp 140.000.
Imron menambahkan, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 Tahun 2015, dalam pelayanannya, dokter spesialis yang merasa pasiennya membutuhkan layanan fisioterapi akan merujuk langsung. Yang mengerjakan pun para terapis. ”Namun, BPJS Kesehatan mengharuskan untuk merujuk ke dokter rehab medik,” ujarnya.
Imron mencontohkan pasien stroke yang ditangani dokter spesialis saraf. Saat di RS dan pasien dirasa membutuhkan terapi karena belum bisa bergerak, yang akan menangani adalah terapis dari fisioterapi. Lalu, ketika pasien sudah diperbolehkan pulang dan membutuhkan transisi untuk kehidupan sosialnya, di situlah terdapat peran dokter rehab medik.
”Misalnya, saat ke kantor tidak bisa karena kantornya menggunakan tangga, itu peran dokter rehab,” ungkapnya. ”Seharusnya, kalau BPJS mau melakukan efisiensi, jangan seperti ini.”
Imron juga mengomentari pembatasan layanan fisioterapi. Dalam Perdiyan 5/2018, layanan fisioterapi diberikan dua kali seminggu atau maksimal delapan kali dalam satu bulan. Imron mengibaratkan layanan fisioterapi itu seperti pemberian obat. ”Kalau dosis yang diberikan di bawah yang ditentukan, sakitnya semakin panjang,” tuturnya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat kemarin kembali menegaskan, berlakunya tiga perdiyan tidak berarti penja- minan akan pelayanan kesehatan katarak, fisioterapi, dan bayi baru lahir sehat diberhentikan atau dicabut. ”Peraturan itu terbit dimaksudkan untuk mengoptimalkan mutu pelayanan dan efektivitas penjaminan kesehatan,” katanya.
Terkait peraturan yang mengatur rehabilitasi medik atau fisioterapi, jelas Nopi, layanan tersebut tetap dijamin dengan kriteria frekuensi maksimal yang ditetapkan. Di Jawa Timur, 25 RS telah menghentikan layanan fisioterapi bagi pasien BPJS.
”Kami bukan menolak melayani pasien. Tetapi, di dalam lampiran aturan BPJS tersebut, tindakan fisioterapi yang tercantum tidak sesuai dengan standar layanan fisioterapi,” ujar Ketua Pengurus Daerah IFI Jatim Fransisca Xaveria Hargiani. Hal itu, kata dia, dapat berakibat pada tidak adanya perlindungan hukum bagi fisioterapis yang memberikan layanan.
RSUD dr Soedomo Trenggalek salah satu yang ikut menghentikan layanan fisioterapi bagi pasien BPJS. Penyebabnya, RS itu tidak memiliki dokter spesialis rehab medik. Sebelumnya mereka tetap melayani fisioterapi meski aturan baru sudah berlaku karena menganggap masih masa transisi hingga 21 Desember.
”Setelah berkoordinasi lebih lanjut, ternyata jika tidak memiliki tenaga spesialis rehab medik, layanan tersebut tidak bisa diklaimkan ke BPJS,” ungkap dr Saeroni, direktur RSUD dr Soedomo, kepada Jawa Pos Radar Tulungagung kemarin.
Menurut Saeroni, di RSUD Trenggalek, setiap hari rata-rata ada 20 pasien BPJS yang membutuhkan fisioterapi. Mereka terpaksa disarankan membayar sendiri. Biayanya Rp 45 ribu sekali fisioterapi. ”Kalau yang SKTM atau umum masih bisa dilayani,” ujar dia.
Gugat Presiden Sementara itu, pasangan Edy Haryadi dan Yuni Tanjung alias Yuniarti kemarin mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Yuniarti merupakan penyandang kanker payudara. Pendaftaran gugatan itu terkait dengan penghapusan obat kanker Trastuzumab oleh BPJS Kesehatan. ”Pendaftaran gugatan ditujukan ke presiden, menteri kesehatan, direktur utama BPJS (Kesehatan), dan dewan pertimbangan klinis,” kata Edy kemarin.
Sebelumnya mereka melakukan somasi pekan lalu. Namun, tak ada tanggapan dari BPJS Kesehatan. Obat kanker Trastuzumab tidak lagi bisa diklaimkan BPJS Kesehatan sejak 1 April lalu. ”Trastuzumab itu sangat penting untuk memperpanjang kehidupan penderita kanker payudara HER2 positif,” ungkapnya.
Gugatan Yuniarti terdaftar di PN Jaksel dengan nomor perkara 552/ Pdt.G/2018/PN Jkt Selatan tertanggal 27 Juli 2018. Cara itu dilakukan lantaran seluruh upaya yang ditempuh menemui jalan buntu.