Mencari Jalur Solusi Lain
Wartawan Jawa Pos
PASIEN, tenaga medis, dan fasilitas layanan kesehatan. Tiga hal itu saling berkaitan saat seseorang sakit
Sejak sekitar empat tahun lalu, hadirlah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Segala hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan berubah. Dengan iuran terjangkau, warga yang sakit mendapat pelayanan kesehatan. Harapannya, pada 2019 jaminan kesehatan secara universal sudah berlaku. Alias, seluruh warga Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan tersebut.
Pada perjalanannya, masyarakat berbondong-bondong mendaftar sebagai peserta BPJS. ”Enak pakai BPJS, semua ditanggung kok.”
Ungkapan seperti itu sering terdengar dalam obrolan membahas suatu penyakit atau ketika menjenguk keluarga yang opname. Ungkapan yang lantas mendorong orang lain untuk mendaftar menjadi peserta BPJS.
Kian hari kian banyak fasilitas kesehatan milik pemerintah maupun swasta yang menjalin kerja sama dengan BPJS. Warga punya banyak pilihan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Tetap berjenjang sesuai kondisi kesakitan yang dialami. Dengan begitu, pasien sakit ringan tak langsung berobat ke RS tipe A.
Berbeda dengan asuransi kesehatan pada umumnya, tak banyak syarat ketika seseorang ingin menjadi peserta BPJS secara mandiri. Meski begitu, peserta mendapatkan manfaat berlipatlipat dibandingkan dengan iuran yang dibayarkan. Baik pelayanan spesialistis, rawat jalan dan rawat inap, pengobatan, persalinan, maupun jenis terapi lain.
Itu tentu berbeda dengan kepesertaan asuransi kesehatan swasta. Ada syarat skrining kesehatan, utamanya peserta baru yang berusia 40 tahun atau lebih. Yang satu ini, bahkan ada peluang ditolak bila telanjur mengidap penyakit tertentu. Gangguan jantung, misalnya. Syarat lain, memiliki rekening di bank tertentu agar pihak asuransi bisa menarik dana secara rutin setiap bulan. Plus, beberapa ketentuan atau penyakit yang bisa di-cover asuransi. Dengan kata lain, tak semua sakit bisa diobati pakai asuransi.
Pasien mampu yang sebelumnya berobat dengan uang pribadi pun lama-kelamaan menjadi peserta BPJS. Menjadi peserta mandiri, membayar iuran bulanan. Biasanya, pasien begini awal-awal pindah berobat meminta kepada dokter untuk diberi obat bermerek sebagaimana yang rutin diterima. Ada saja caranya. Membawa turunan resep sampai bekas pembungkus obat.
Kalau ada dalam daftar obat yang disepakati RS dan BPJS, mungkin pasien bisa memperoleh obat yang sama. Tapi, kalau tidak ada, ya si pasien harus menerima obat yang tersedia. Awalnya mereka kaget karena obat yang diterima berbeda dengan obat bermerek yang biasa didapat. Meski, kandungannya sama. Begitu aturan mainnya.
Sayangnya, belakangan bebe- rapa jenis obat atau terapi dibatasi. Efisiensi, katanya. Pasien pun tak seleluasa dulu memperoleh layanan. Mungkin BPJS perlu mencari jalur solusi lain agar pasien, tenaga medis, dan fasilitas layanan kesehatan sama-sama untung.
Salah satunya, fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS. Terlebih klinik serta RS swasta. Tentu, ada tim yang bertugas cermat berhitung keuangan di samping tim medis yang sigap bertindak sesuai prosedur medis.
Pihak manajemen harus benarbenar pas mengatur pemasukan dan pengeluaran untuk pelayanan pasien BPJS. Tertib administrasi pun berlaku agar BPJS bisa membayar sesuai klaim fasilitas pelayanan kesehatan. Tenaga medis yang bertugas pun harus paham segala aturan yang berkaitan dengan BPJS. Salah langkah sedikit saja, bisa-bisa BPJS menolak membayar klaim yang diajukan.
Beragam cara dilakukan klinik atau RS swasta agar terus ”hidup” meski melayani pasien BPJS yang sedemikian banyak serta beragam kasusnya. Bahkan, adakalanya pihak owner atau pemegang saham menalangi dulu sembari menunggu pembayaran dari BPJS.
Kalau tidak mengambil langkah demikian, pihak manajemen klinik atau RS tentu kerepotan menyelesaikan pembayaran honor stafnya. Ya, di balik pelayanan kesehatan itu, ada tenaga medis yang membutuhkan dana segar untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya kan?